Aku tersadar karena riuh yang aneh dan jarang kudengar.
Suara berdialek asing saling bersahutan, disertai sayup petikan melodi yang beberapa kali pernah kudengar—yang tentu tak asing lagi. Dentingan piring jelas terdengar, sementara mulut-mulut terdengar tengah mengecap.
Aku terkesiap, tapi aku takut membuka mata.
Ini bukan di kantor.
Jelas bukan karena kuhidu aroma dupa yang biasa ada dalam acara sembahyang di klenteng. Tunggu—tunggu…
“Minta dia orang ganti itu lagu pakai Teresa Teng punya. Wo kurang suka lagu itu,” ucapan laki-laki itu membangunkanku. Caraku terbangun tentu tidaklah elegan. Barangkali mirip orang yang bermimpi terlempar sampai jauh atau jatuh dari langit ketujuh, kalian paham kan rasanya?
Dan, sebelum kubaui sekitar, tentu kutengok dulu tempatku terbangun. Apakah kolong meja lagi atau bukan? Ataukah aku di gereja? Ternyata tubuhku bersandar di sebuah kursi besi yang biasa ada di acara nikahan…nikahan?
Setelah kudengar lelaki itu menggerutu, lagu berganti menjadi lebih mendayu-dayu. Musik instrumental khas Tionghoa menyentil telingaku. Tubuhku jadi terkaku mengingat semua hal ini begitu lekat dengan Andra—lelaki Tionghoa tulen yang tak sengaja kucintai. Bila tiada terhubung dengan Andra, sungguh mustahil aku ada di tempat seperti ini.
Aku banyak menghindari tempat-tempat asing kalau tidak diajak orang lain. Aku bisa kebingungan sendiri, linglung seperti anak hilang dan begitu cepat menjadi tak kerasan. Lalu kalau sudah begitu, aku tak keberatan untuk segera pulang walaupun baru sedetik lalu kakiku memijak di sana.
Tempat seperti ini menjadi yang pertama dalam daftarku yang biasa aku hindari. Selain karena tidak punya kepentingan untuk ada di tempat yang kental dengan budaya orang ini, aku juga merasa kerdil karena beda sendiri. Ah, lihatlah mereka! Dari bahasanya, parasnya hingga sekecil-kecilnya cara mereka berdoa tak sama denganku.
“Psst! Psst!”
Petty!
Aku mulai melihat sekeliling mencari arah datangnya suara itu. Sekelilingku penuh ornamen berwarna merah dan emas, warna-warna yang sering ditemui saat Sincia. Bagian depan ruangan itu, sebuah ornamen tulisan Fu yang artinya keberuntungan dikelilingi oleh dekorasi apik yang dibuat dari daun dan bunga artifisial. Bangku-bangku yang kutempati pun betulan bangku acara pernikahan yang dilapisi perca merah dengan bagian belakang tercetak dua alfabet:
Andra & Daniella
Pada saat itulah aku tahu semua ini nyata..
“Sara!”
Suara Petty yang segera kukenali membuatku langsung menoleh ke arah yang tepat. Dia berdiri di bagian belakang barisan kursi, dekat AC duduk, di sebelah barisan gelas untuk air jeruk.
“Mbak ngapa—”
“Ssst!” Sosok kakek—yang biasa dipanggil Akong dalam dialek Hokkien, menegurku. Dia lelaki tua berbadan tunggik yang mengenakan Changsan keemasan. Barangkali dia adalah keluarga si empunya acara. Rambutnya menguarkan aroma tak asing yang pernah kuhidu dari kepala bapakku. Pasti gel rambut merk Tancho. Aku kenal betul aroma ini.
“Mulut lu jangan berisik. Mereka punya acara mau dimulai!” Dia menegurku.
“Anu—kalau boleh tahu acara apa, Pak?”
“Tea pai,” jawabnya.
“Apa itu?”
“Sara! Ke sini!” Petty masih memanggilku dari posisinya. Aku menelan ludah karena sepertinya genting. Duh, apa lagi ini?
Sementara Petty terus melambai, kakek itu berdeham dan memandangku. “Lu kalau mau nikah, diadatnya kita orang pasti ada upacara minum teh. Terus kasih pai ke orang tua, kakak-adik, atau saudara. Habis itu, itu orang berdua dikasih angpao, biar sejahtera lahir batin.”
“Ini siapa yang nikah?”
Tiba-tiba bahuku sudah dicengkeram Petty dan aku terpaksa mengikuti arah tubuhnya bergerak. Dari deretan kursi, dia menarikku keluar dari gedung serbaguna itu. Kami melewati keluarga tuan rumah yang tampak begitu menawan dengan aroma harum yang menguar. Wajah mereka dipenuhi keceriaan, terlihat semringah seolah telah menantikan hari ini selama bertahun-tahun.
“Mbak, ini acara apa? Jangan bilang—”
Dia yang masih menarikku, mengarahkan tubuhku untuk bersembunyi di bali vas raksasa di dekat pintu masuk tempat itu. “Kamu diam, jangan panik,” katanya. Kemudian, lengannya terjulur. “Itu Andra bukan?”
Kuikuti arah tangannya dan saat itu juga lututku tak ubahnya bubur sumsum. Aku nyaris menggelesor, jika saja Petty tidak menangkapku.
Penampakan Andra dengan seorang wanita bernama Daniella yang membawa buket bunga di karpet merah membuatku tiba-tiba ingin buang air besar. Campur aduk rasa di dada. Keduanya bertukar tawa yang biasa kudengar saat sedang bersama Andra. Gelak hebat yang khas itu—yang hanya milik Andra kini bukan lagi untukku.
Hatiku terlumat habis-habisan. Ingin menangis saat itu juga, tapi yang seperti ini sudah mengakar di kepalaku sejak jauh-jauh waktu, terlebih sejak…beberapa waktu lalu. Ditambah lagi, Andra juga selalu mengingatkanku agar jangan mencintai orang terlalu dalam.