“Apa mau kamu?”
Kalau bukan karena dibuat nelangsa berkali-kali, biasanya aku takkan seberani ini.
Aku tersenyum—oh, bukan maksudku menyeringai. Kedua pipinya terangkat, gigi-giginya terlihat menyembul di antara lekuk bibirnya. Mata aku sudah tak lagi menghitam, berbeda seperti sebelumnya. Dia cukup terlihat normal seperti diriku biasanya.
Namun tetap saja, semua ini di luar nalar.
Ketika kurasakan tanganku sedikit bergetar, Petty menguatkan gamitannya.gamit tangannya.
Terdengar suara tawa tertahan dari sosok aku, “ah, pura-pura enggak tahu,” katanya.
Ya, memang enggak tahu, anj—!
Mungkin Petty tahu rasa dongkolku hingga ia memutuskan memijat pundakku.
“Ikut aku, Sara,” ucapnya. “Ada tempat yang lebih baik untukmu.”
Aku mencureng, setengah karena silau kepanasan, setengah karena tak sanggup mendengar racauannya. “Kayaknya aku gila,” aku menoleh kepada Petty yang mulai memucat. “Maksudnya apa, Mbak?” Aku berbisik kepadanya.
Dan baru sekali ini aku melihat Petty menelan ludah dan menggeleng kehabisan akal.
“Baiklah kalau saat ini kamu masih menolak, tapi setelah ini kujamin kamu akan memelas agar bisa ikut bersamaku,” ucapnya pongah.
“Kamu ini apa? Jin? Setan? Siluman?” Tanyaku.
“Aku itu kamu, Sar,” jawabnya tegas.
“Ah, tahi kucing! Tukang ngibul! Sinting!” Sontak mulutku jadi merepet seperti ini. Dugaanku sih, aku begini karena efek patah hati setelah tahu akhir kisah cintaku yang kukira bisa lestari. Halah, dasar pemimpi!
Yang tak kusangka juga, ternyata ucapanku itu adalah harimauku sendiri. Dan hanya dalam sekali kedip, kubisa melihat dia berlari menyongsongku. Kedua tangannya terjulur macam ingin mencekikku, sementara urat-urat lehernya menegang. Matanya mendadak menjadi hitam dan aku tahu tamatlah riwayatku dalam hitungan detik.
BRAK!
Namun, ternyata tidak!
Petty menghalaunya. Sebelum aku sampai menubruk tubuhku, Petty sudah menendangnya dengan gaya kungfu paling gahar yang pernah kulihat.
BUK!
Tendangan Petty berhasil ditangkap aku.
Aku tergelak luar biasa, merasa menang atas kami berdua, “kamu tidak lebih baik dari aku!” Katanya. “Pada akhirnya, yang dia pilih adalah aku! Bukan kamu!”
Petty mengerang kesakitan. Kakinya perlahan dipelintir oleh aku.
Aku yang berada di belakangnya hanya bisa melihat Petty terus menggeleng sambil mengisyaratkan: jangan…jangan ke sini!
“Aduh, Mbak! Gimana ini?”
“Kabur! Kabur, Sara! Jangan nanya terus!” Ucapnya tertahan dan setengah terbata.
Krek…
Kudengar suara gemertak nyaring—tulang patah disusul lolongan panjang yang kudengar dari Petty.
“AAAAAAKH!”
“MBAK!”
Lariku cukup kencang ke arahnya—arah mereka. Petty hampir tersungkur karena tak kuasa menahan kesakitannya. Posisi kakinya mengarah pada sisi yang berbeda. Gawat.
Aku berhenti pada jarak tak sampai dua meter dari mereka. Aku melemparkan tubuh Petty yang lunglai ke arahku. Tentu saja aku tak sekuat itu menahan tubuh bongsor Petty, jadilah aku ikut menggelesor di aspal.
“Ikut aku, Sara,” kata aku selagi menjulurkan tangannya dari kejauhan.
Saat itu, kudengar gemuruh dahsyat dari aspal di bawahku. Pohon-pohon di sekitarku bergetar hebat, dan daun-daunnya berguguran satu per satu, seakan terlepas tak kuasa menahan kengerian. Burung-burung yang bernaung di sana panik, berhamburan ke udara, melarikan diri dari getaran yang mencekam. Kulihat mereka semua terbang rendah memutari area gereja.
Aku terperangah, sementara Petty tak berdaya dalam dekapanku. Wajah Petty menjadi pasi. Matanya setengah membuka, tapi masih mengikuti arah kawanan burung itu terbang. Pada saat itu, ingatanku luput pada aku yang gila. Ketika aku teringat dia, tak kuduga sosoknya telah menghilang dari halaman gereja.
Hanya kami berdua yang tersisa—setengah terpana.
“Sara…” Panggil Petty lirih. “Kita ketemu di depan lift.”
Itulah kalimat terakhirnya sebelum langit menembakkan sinar putih ke atas tubuh kami.
***
Saat aku tersadar di kolong meja (lagi), kulihat langit dari jendela berwarna merah—bukan seperti senja, tapi betulan merah seperti dibanjiri darah sampai luruh semua warna pada langit siang hari.
Lambat laun telingaku pun mendengar kuak gagak berteman kepakan heboh seolah sekawanan mereka masuk ke kantor ini. Aku belum melongokkan kepala ke arah datangnya suara—alias deretan kubikel Bu Riana dan Bu Maryam. Namun, aku yakin semua suara itu berasal dari area itu.
KAOK! KAOK! KAOK!
KOAK…KOAK…KOAK!
KUKUKUKUK…KOAK!
Aku sama sekali tak mendengar suara ketiga atasanku itu. Cukup lega mengetahui ini. Mungkinkah dunia sudah normal kembali dan ketiganya sudah pulang saat ini? Toh, di luar langit pun kemerahan, boleh jadi memang langit senja di pinggir Jakarta agak berbeda dari wilayah lain. Bisa juga kan? Selalu ada banyak kemungkinan di dunia ini, sepertinya itu yang harus Petty luruskan.
Banyak kemungkinan, bukan hanya dua.
Aku melongokkan kepala ke kubikel mereka. Betul saja, mereka tidak ada, tapi alih-alih kulihat tubuh mereka bertengger di kursi, malah ada dua burung gagak yang bertengger di meja mereka sedangkan satu ekor lagi terbang tak jelas arah.
“Koak! Koak! Koak! Koak!”
“Ngapain, sih? Aneh banget!” Ucapku.