“Sara, bangun, hei!”
Bangun di kolong meja sudah biasa, bangun di gereja saat upacara minum teh bikin renyuk dada, tapi bangun di kasur sendiri karena dengar suara Papa yang sudah lama berpulang, apa enggak mengada-ngada?
Kegilaan macam apa lagi ini? Kalau ada satu hari di mana Tuhan ingin berbuat baik kepadaku sepertinya bukan dengan membuat sosok yang tak kuharapkan hidup kembali untuk menyambangiku.
Aku lihat sekeliling kamarku. Seprai anjing dalmatians bekas keponakan, karpet macan tutul kesukaan Mama, minyak gosok, parem kocok, koyo untuk pinggang encok—oh, Tuhan ini kamarku!
Aku terlonjak dari kasur yang amat kurindukan! Akhirnya aku kembali lagi! Kenyamanannya pun masih sama seperti terakhir kali kutinggalkan sebelum terbangun di lingkaran setan ini. Aku pun berjalan ke cermin, tentu saja kulihat diriku yang asli! Bukan aku imitasi yang setengah sinting dan psikopat.
Aku masih diam di kasurku. Apa-apaan ini?
“Sara!” Suara lelaki berteriak di depan kamarku. “Ini kalau enggak mau diurus, lama-lama Papa bawa ke hutan aja, nih.”
Papa?
Betulan suara Papa?
Muka gila!
Aku mendekati pintu kamarku.
Duk! Duk! Duk!
“Pintu masih dikunci lagi! Ini anak bontot pemalas banget, sih!” Katanya.
Karena ingin menuntaskan rasa ingin tahuku, aku memaksa diri untuk berani menyahutinya, “siapa di luar?”
“Kok, pakai nanya! Enggak hafal sama suara bapak sendiri?”
“Ta–ta–tapi,” aku mulai gugup. “ Papa sudah mati dua tahun lalu.”
“Mati? Jelas-jelas aku masih hidup, sehat dan bugar kayak begini,” tukasnya. “Kok, bisa kamu nyumpahin aku mati?”
Aku mengguncangkan kepalaku, ini tidak benar. Jelas-jelas aku sendiri yang mengangkat tubuh Papa sesudah malaikat maut menunaikan tugasnya. Pergelangan kaki Papa yang mulai dingin sampai sekarang masih bisa kurasakan bekasnya di telapak tanganku. Aku juga ingat betul suara bergetar Mama saat memanggil-manggil Papa yang sudah tak bernyawa. Padahal, sedetik lalu mulutnya masih menyerocos, memarahi kucing yang menjatuhkan pot di halaman.
“Sara, kalau enggak mau Papa marah, ayo buka pintunya, terus kamu beres-beres buat kerja!”
Buka…enggak…buka…enggak, kalau kubuka tahu-tahu setan yang menyambutku, apa enggak akan kencing di celana?
“Kalau benar yang di luar Papa, tanggal lahirku kapan?”
“Bukannya keluar terus mandi, malah kasih tebak-tebakan, gimana sih ini anak?”
“Kapan, Pa?” Aku menjawab.
“Papa lupa!”
Ah, benar! Dia memang tidak pernah mengingat hal-hal tentang diriku. Maka, kucoba membuka pintu kamarku, lalu tertegun setelah melihat dia betulan sosok yang nyata.
Papaku, pria besar tanpa rambut, bermata kecil dengan senyum yang kelihatan ramah (ya, aslinya memang hanya ramah kepada orang lain, bukan kepada anaknya), ada di depanku. Dia kulihat memakai baju garis-garis biru dan celana bulutangkis pendek seperti yang ia kenakan terakhir kali. Oh, apakah akan ada adegan tangis menangis dan peluk memeluk di antara kita?
Tidak.
Alih-alih begitu, aku mencoba menampar diriku. Dia terkejut, aku juga karena dia langsung mengangkat tangannya seperti gerakan yang pernah dia lakukan ketika sebal denganku.
“Apa-apaan sih, kamu?!”
“Papa kan udah mati!” Kataku sebelum mengulangi tamparan yang sama kepada diriku. “Enggak mungkin Papa di sini!”
“Lah, ini rumah Papa, Sar. Wajar aja Papa di sini, dong? Kamu nih udah gila, ya?
Aku tertegun karena dia nyata. Ujung jemari kasar yang dulu sering membuatku geli kini kembali kurasa. Aku menengok ke tangan itu. Tangan besar, kasar, berbulu itu adalah tangannya.
Tunggu…tapi, kalau dia nyata bukankah seharusnya kami sedang saling diam?
“Ini bukan Papa,” kataku.
“Jangan gila kamu!”
“Papa enggak mungkin mau ngomong sama aku,” aku menatap wajahnya. Kerutan dahi yang dalam, hidung bangirnya, janggut tipis keabu-abuan, semua memang ciri fitur dirinya.
Namun, bagaimana bisa?
“Kalau ada yang bikin Papa enggak mau ngomong sama kamu, pasti itu salah kamu,” katanya.
“Salahku?” Suaraku meninggi. “Enak aja! Papa duluan yang marah-marah terus!”
“Papa marah-marah juga karena kamu—”
“Karena apa?”
“Ya, kamunya marah-marah juga!”
“Siapa yang bisa tahan tinggal sama Papa? Seorang bapak pilih kasih yang cuma mikirin anak keduanya—”
Dadanya membusung dan acapkali ini terjadi, aku sudah tahu adegan berikutnya. Dia mengangkat tangan, tetapi lantas menahannya di udara. Ini sering terjadi karena ia tak sampai hati untuk melakukannya.
“Kamu enggak jelas!” Kulihat bahunya naik turun setelah ia menurunkan tangannya.
“Enggak jelas gimana? Papa yang kehadirannya enggak pernah jelas di hidupku!” kataku. “Papa saja enggak pernah pentingin aku!”