Di tengah serbuan ingatan tentang Kak Ally, sebuah kenyataan lain menghantamku—lebih pahit, lebih sunyi. Telingaku serta-merta diserbu suara tangis yang semakin nyaring. Aku pun membuka mata dan dunia di hadapanku berubah. Bukan lagi soal pertengkaranku dengan Papa atau Kak Ally, melainkan tubuh Papa yang terbaring tenang dalam kafan.
Aku terkejut, karena itu berarti sebentar lagi Kak Sinta akan menghardikku karena hanya aku dan Mama yang tak menangis.
“Papa meninggal, kamu enggak ada sedih-sedihnya, dasar durhaka!” ternyata benar, tiba-tiba Kak Sinta berkata demikian. “Mati nanti, neraka jadi tempatmu, Sar.”
Sebenarnya semua ini apa, sih?
Apa jangan-jangan aku betulan gila seperti Gambir di Pintu Terlarang? Lalu, semua yang terjadi ini, termasuk Petty adalah akal-akalan otakku yang sudah sedemikian sintingnya?
Aku masih mencari-cari Mama, dia tidak ada di mana-mana. Tidak di ruang tamu, juga berseliweran di teras rumah.
“Permisi,” aku hendak bangkit dari sisi papaku, tetapi sebuah tangan yang lantas aku tahu adalah milik Kak Sinta membuat tubuhku kejur dari atas hingga bawah sebelum aku bisa bangkit sepenuhnya.
“Minta maaf kamu sama Papa!” Ucapnya, penuh penekanan sampai membuatku tertekan betulan. “Kamu senang ‘kan Papa meninggal?”
“Aku enggak sejahat itu!”
“Bohong!” Kak Ally menimpali. “Dia enggak mau bantu gue angkat Papa, Sin!”
“Aku pegang kaki Papa! Aku lihat dia keluarin gigi palsu sebelum napasnya habis! Aku—aku enggak sejahat itu, Kak. Aku ada di samping dia saat meninggal dulu, Kak.”
“Kamu tetap jahat! Kamu benci papamu sendiri! Kamu kurang ajar sama dia! Kamu bahkan enggak pernah peduli waktu dia strok dulu!”
“Siapa yang dia cari sewaktu dirawat dulu? Siapa yang sering dia panggil kalau dia lagi mengigau,” tiba-tiba kutemui suaraku menjadi lirih. Ada getaran aneh yang kurasa di tenggorokanku. Suaraku mendadak kembali seperti anak kecil yang ketakutan. “Siapa yang kedatangannya selalu Papa tunggu, padahal sejam kemudian ngeluh capek karena ajak main cucu? Apakah aku jawabannya?”
Mereka diam.
“Enggak, kan?” Kataku. “Aku cuma anak yang enggak sengaja lahir, lalu mungkin terpaksa ia besarin karena—ya, kurasa Papa masih tahu arti dari tanggung jawab. Padahal, sekalipun aku enggak pernah ada dipikiran dia karena mungkin, kehadiranku bukanlah yang ia mau. Papa itu sudah cukup punya kalian berdua.”
Dua orang kakakku menggeleng sambil berdecak tak percaya.
“Dosa banget kamu ngomong begitu di depan Papa,” Kak Ally menyahuti dengan tak tahu diri. “Minta ampun sekarang juga!”
“Minta ampun!” Tengkukku lantas ditekan oleh Kak Sinta agar wajahku kian dekat ke wajah Papa yang sudah dikafankan rapi.
Ini sudah keterlaluan! Aku tak pernah membayangkan akan ada orang yang berani merundungku di depan mayat orang tua sendiri. Lebih parahnya lagi, pelakunya itu adalah kakakku sendiri.
“Minta ampun ke Papa! Cepat!” Sementara itu, Kak Ally juga mulai mendorong kepalaku berkali-kali. “Kamu senang Papa meninggal, makanya kamu sekarang enggak ada sedih-sedihnya, kan?”
“Enggak menangis bukan berarti aku senang Papa meninggal! Kalian berdua gila!” Aku berteriak pada mereka—pada dia. “Mungkin kalian enggak pernah tahu, tapi dulu aku sayang sama Papa lebih dari aku sayang sama diriku sendiri! Aku pernah nunggu dia pulang sampai jam satu malam! Aku pernah berharap dia ajak aku pergi setiap Sabtu! Aku pernah melakukan semua itu, sampai akhirnya aku sadar kalau ternyata aku cuma bagian kecil dari hidupnya yang enggak berarti.
Karena yang berarti adalah kalian berdua!”
Dengan napas tersengal dan mata yang perih, aku menatap mereka satu per satu. Tak ada lagi yang bisa diucapkan. Aku pun bangkit dari sisi jenazah Papa, tapi sebelum berdiri sepenuhnya, kuusapkan jariku ke dahinya.
Lalu, kubisikan sebuah kalimat yang tak pernah bisa kuucapkan semasa dia hidup, “aku kangen kita yang dulu, Pa.”
Barulah saat itu aku bangkit.
Selagi aku berjalan menuju pintu keluar, aku kembali melihat tubuh Papa. Dahinya sedikit membengkak, persis seperti terakhir kali yang kuingat. Dahi itu pula yang pertama dan terakhir kali kucium saat dia meninggal. Ketika orang berkata agar air mataku tidak menyentuh wajah Papa, tentu saja—pada saat itu aku memang tidak menangis. Namun, sehari hingga berbulan-bulan setelahnya, mungkin akulah yang paling sering menangis.
Aku pun menatap kosong ke sekitar, perasaan kehilangan kembali menghantamku seperti gulungan gelombang ketika pasang. Ada desir aneh dalam dadaku karena semua hal yang tak masuk akal datang silih berganti. Padahal aku hanya ingin bertemu ibuku, mamaku, cinta pertamaku sebelum aku mengenal cinta dari manusia lain.
Kini di hadapanku tak ubahnya beranda luas yang begitu melompong. Karpet-karpet masih tergelar, begitu juga gelas-gelas plastik minuman dan baskom beras tempat ditaruhnya uang dari para pelayat. Semua masih tertinggal pada posisinya, sementara para pelayat, sanak-saudaraku dan kedua kakakku bahkan jenazah papaku hilang dari tempat.
Kakiku kehilangan daya untuk berpijak sebab semua yang kualami adalah pukulan telak dan tidak semua orang sanggup akan itu. Napasku menjadi sesak. Sekelilingku mulai meredup dalam artian yang sesungguhnya. Langit mulai gelap macam ada tinta tumpah yang kemudian membebat mataku.
Rasa perih menjalar di sekitar mataku membuatku langsung menutup mata rapat-rapat. Namun, gempuran cahaya putih masih bisa kurasakan lewat kelopak mata dan jadilah aku semakin perih dibuatnya.
Aku sempat mengerang, lalu kudengar suara berkeritik-keritik seperti kayu yang dihanguskan api.
“Sara, aku sedih kamu begini.”