Pendulum Waktu

Shanen Patricia Angelica
Chapter #21

Ia Nyaris Menang

Selepas Mama pergi rumahku terasa begitu sunyi.

Semua hal yang kualami beberapa saat lalu tak ubahnya asap yang telah menyisih. Kepalaku penuh oleh beribu pertanyaan tentang dunia yang sama sekali tak kukenali. Dunia yang penuh dengan segala ketakutanku akan hidup belakangan ini.

Bermula dari perkara kantor yang tak bisa kuelakkan, berlanjut kehilangan teman-temanku, ditinggalkan Andra, kembali bertemu Papa, lalu kepergian Mama. Pertanyaan yang selanjutnya muncul dibenakku adalah sebenarnya aku ini di mana? Dan mengapa ini bisa terjadi kepadaku?

Ini terlalu aneh untuk terjadi di realitas yang semestinya dan membuatku menduga, kalau selama ini akulah yang benar, bukan Petty. Kami memang sudah mati dan ini adalah penggambaran akhirat untuk kami. Sekiranya ini menjadi kemungkinan terbesar dari semua alasan mengapa perjalanan ini terjadi.

Lalu soal Petty, aku sendiri tidak pernah tahu kenapa bisa aku bertemu Petty di sini dan ketika aku kembali ke rumah, Petty tidak muncul sama sekali. Mungkinkah dia juga kembali ke tempat asalnya? Tapi selama ini dia tidak pernah memberitahuku di mana tempat tinggalnya bahkan informasi tentang orang-orang terdekatnya. Aku jadi semakin bingung atas apa yang tengah kuhadapi saat ini.

Terlalu banyak keanehan yang sukar kupahami. 

Langkahku kemudian menuju tempat yang kurasa akan cukup aman bagiku. Kamarku sendiri. Aku melewati ruang tamuku yang sudah kosong melompong karena memang sebenarnya sudah banyak dijual kakakku. Foto-foto di tembok tergantung miring. Dari semua foto yang ada, fotoku memang tidak ada di sana. Selain karena malas berfoto, tembok itu sudah penuh oleh foto-foto kakakku yang kini merambah ke foto anak-anak kakak keduaku. Aku tidak masalah bahkan ketika aku lihat kembali tembok itu saat ini.

Tibalah aku di depan pintu kamarku. Di dalam sini, biasanya aku menghabiskan waktu ketika Mama dan kakak pertamaku menonton televisi di ruang keluarga. Saban malam aku senang bergelung dengan pikiran sendiri, tenggelam dalam kesedihan tanpa tahu jalan keluar yang pasti. Aku menganggap diriku tak lebih dari bonggol pohon yang patah lalu mengapung di sungai keruh. Aku hanya bisa mengapung, tanpa bisa mengayuh karena aku telah patah sedari awal.

Biasanya juga aku langsung tidur hanya untuk menyongsong pagi yang tak pernah kuinginkan. Terdengar sangat depresif, tapi sungguh terjadi belakangan ini sebelum aku terjebak di tempat ini. 

Aku putuskan untuk membuka pintu kamarku. Aku ingin tidur dulu karena boleh jadi aku bisa terbangun dengan keadaan yang jauh lebih baik, sekalipun ini adalah limbo bagiku.

Lalu, kembali lagi kulihat kilatan yang membutakan mata sampai tahu-tahu aku berada di kasur kamarku. Sebuah gunting yang tengah kupegang erat penuh percikan darah.

Apa-apaan ini?

Tatapanku bertumbuk dengan kenyataan bahwa ada tiga goresan yang cukup dalam melintang di pergelangan kakiku. Dan aku ingat, beberapa kali aku pernah melakukan ini.

Terakhir adalah beberapa waktu sebelum aku dipanggil Pak Dirja.

Ketika itu aku sungguh bodoh. Aku tak pedulikan percikan darahku sendiri yang mengotori seprai sebab tiga baris sayatan itu sungguh tidak terasa perih. Mungkin bisa dibilang toleransi rasa sakitku di atas rata-rata. Jadi, sepertinya aku sudah mati rasa, sepertinya. 

Waktu itu sepertinya aku cukup putus asa setelah ditolak kanan-kiri oleh rekruter. Belum lagi persoalan rumah yang tiada henti merongrongku. Saat-saat itu, Kak Ally masih getol-getolnya menjual barang-barang di rumahku dan tak jarang terlibat cekcok dengan Mama. Tak jarang juga dia mengadukannya hal itu kepada Kak Sinta supaya ada yang membela dia dan menyalahkan Mama.

Di sisi lain kasurku, secarik kertas telah bertuliskan pin ATM-ku secara gamblang ditambah bubuhan sebuah kalimat: kalau nyari ATM-ku, dompetnya ada di lemari.

Sepertinya aku berusaha menjadi mulia pada saat-saat terakhirku, jadi sengaja kuberitahu Mama rahasia terbesar dalam hidupku yaitu pin ATM-ku sendiri yang bisa dia pakai seenaknya sampai saldo habis….

…ketika aku tiada.

Agak gila juga pemikiranku tiap kali aku merasa terperosok dan dimusuhi dunia. Kalau dulu sempat dua kali hampir menabrakan diri, kali ini aku sampai menyiapkan peninggalan terbaik yang bisa kuberikan, yaitu seluruh tabunganku. Aku lupa saat itu cara apa yang kupikirkan untuk menghabisi diri sendiri, tapi yang pasti aku mengurungkan niat dan hanya berakhir lecet-lecet karena sayatan gunting itu.

Orang-orang terdekatku seperti Andra dan Mama tentu saja tidak tahu jika acapkali aku menggoreskan sisi tajam gunting itu ke bagian tubuh yang tidak terlihat. Alasannya? Sesederhana aku tahu mereka tidak bisa menolongku dengan cara apapun.

Keinginan ini sudah ada sejak dulu sampai konselor memvonisku terkena distimia bahkan hingga merujukku untuk ke psikiater yang belum kulakukan. Alasan terkuatnya adalah aku takut obat-obatan yang diberikan justru kumakan tanpa pedulikan dosis setiap kali perasaan seperti ini muncul.

Kuharap kalian tidak bingung karena sedetik lalu aku bilang bahwa aku ingin mati, lalu pada detik berikutnya, aku bilang kalau takut sengaja menenggak obat berlebihan alias aku takut mati. Percayalah, ini terjadi karena aku bukanlah pengambil keputusan yang baik. Aku butuh waktu sangat lama untuk bisa menentukan pilihan, sekalipun itu tentang hidup dan mati.

“Selesaikan semuanya, Sar. Masa depan kita enggak akan lebih baik dari sekarang. Kenapa mesti kita lanjutkan?” aku muncul secara tiba-tiba melalui tembok. Ya, segala hal di tempat ini pasti melenceng dari hukum Tuhan semestinya.

“Maksudnya mati?”

Dia mengangguk, “iya, kamu mau, kan?”

Aku diam karena itu memang yang kerap menghantui pikiranku. Hanya saja, nyaliku serupa gerbil yang tak sampai berani melakukan apapun untuk menghabisi diriku sendiri. “Kenapa mati? Memangnya kamu ini apa? Dan, tempat ini—ini di mana?”

“Ya, kan selama ini kamu ingin mati. Sudah dijawab Tuhan kok, malah nanya?”

“Berarti dugaanku betul! Semua ini enggak nyata! Aku ada di limbo, aku sudah mati.”

“Belum mati!” Bentaknya. “Makanya aku ada di sini! Aku ingin bantu kamu untuk selesaikan semuanya.”

“Kalau kamu selesaikan semuanya saat ini, seluruh kesedihan, patah hati, dan kekecewaan yang kita rasakan selama ini akan lenyap,” dia melanjutkan ucapannya. “Kita enggak akan pusing lagi mikirin karir yang ujung-ujungnya perpanjang kontrak doang, rasa minder sama Geng Masa bodoh karena kita gini-gini aja, akhir cerita sama Andra yang mustahil bahagia, ketakutan kita kalau-kalau ternyata harus tinggal sama Kak Ally. Semua yang membuat kamu resah akan sirna selamanya kalau ikut aku.”

“Tapi, gimana kalau semuanya berjalan sesuai apa yang kita mau?”

“Sesuai yang kita mau?” Dia tergelak hebat. Matanya kadang menjadi sepenuhnya hitam dan sepenuhnya putih. Mulutnya pun menjadi lebih lebar daripada mulutku. Entah apalah sosok ini dan maksud Tuhan mengirimkannya kepadaku. Namun, aku sendiri tidak akan mampu bersikap seperti ini di depan orang lain. “Sara, selama ini kita itu enggak pernah ditakdirin punya nasib baik. Jadi, ngapain terus berharap kayak begitu?”

Lihat selengkapnya