Kamu hari ini lagi jadi apa, Sara?
“Ceritanya aku lagi jadi chef di hotel, Ma,” suaraku mendadak berbeda ketika aku menjawab pertanyaan Mama saat ini. “Kayak di buku yang dari Mama.”
Aku belum tahu saat ini aku berada di mana dan sedang melakukan apa. Memang kesadaranku sudah sepenuhnya kembali, tapi rasanya aku berada begitu jauh dari suara Mama bahkan suaraku sendiri. Semuanya kedengaran samar bersama dengung aneh dan bunyi kertak yang tak asing—seperti suara mainan plastik yang mengenai permukaan kayu.
Aku mencoba mempertajam indraku saat ini. Pandanganku masih tertutup kabut yang cukup gelap untuk ditembus. Aku tidak bisa melihat apapun kecuali benda-benda yang melintas dipikiranku. Benakku memunculkan berbagai benda-benda aneh dari suara itu. Ada pisau mainan, meja makan kayu sampai baju koki yang melayang minta digapai.
Aku juga sekilas melihat Mama di sampingku. kulihat dia memangku sebuah buku cerita bergambar seragam koki. Kami seperti berada di kamar lamaku. Tempat tidurku dipenuhi deretan boneka binatang yang dulu sering dibelikan Mama untuk menjadi temanku bermain.
Tubuhku duduk bersila, tapi ini bukan seperti aku yang sekarang. Kaki yang bersila jauh lebih kecil dan kurus. Tanganku juga lebih gempat dari yang biasanya.
Aku menoleh ke arah Mama. Oh, Tuhan! Dia tampak jauh lebih muda.
Tangan Mama yang kemarin hari penuh urat-urat menonjol, menjadi halus dan lebih berseri. Kerutan di wajah Mama lesap seperti ia menjadi muda lagi. Rambutnya pun tidak lagi penuh helai-helai putih yang kadang membuatnya risih sendiri. Ia yang kulihat saat ini seperti Mama diusia 40-an.
Dan ini berarti, tubuh yang tengah kuhuni sekarang adalah tubuhku semasa kecil. Anak kecil yang dulu bertubuh gemuk, berambut panjang dan tipis.
“Memangnya kamu nanti mau jadi chef?” Tanya mamaku dengan suara lembutnya.
Aku menggeleng, topi koki jatuh di pahaku, “memangnya kalau jadi chef itu seru, ya?”
Mama mengangguk, “seru, tapi kamu harus kuat karena jadi chef itu capek,” katanya. “Jadi, kamu harus suka banget memasak, baru bisa senang kalau jadi chef.”
“Memangnya kalau aku suka masak, jadinya enggak capek?”
“Enggak akan capek kalau kamu senang sama apa yang kamu kerjakan,” jawabnya.
“Mama kerja jadi ibu rumah tangga capek enggak?”
Dia mengelus pundakku, “jadi, ibu rumah tangga itu bukan pekerjaan, Sara,” katanya. “Untuk kasus Mama, itu kewajiban karena dulu Mama diajarin sama Nenek dan Kakek kalau perempuan itu baiknya ngurus rumah karena laki-lakilah yang akan cari nafkah.”
“Tapi, kalau kamu, Mama berharap kamu bisa jadi apa yang kamu mau. Mengerjakan segala hal yang kamu suka dan menjadikannya sebagai pekerjaanmu. Karena, enggak selamanya menerima itu enak. Ada waktunya, kita akan merasa enggak berdaya saat kesulitan karena selama ini kita membiarkan laki-laki berjuang sendiri.”
“Tapi, capek enggak, Ma?”
Dia mengangguk, “karena rumah selalu ada dua puluh empat jam jadi, butuh banyak tenaga untuk ngurusinnya. Kalau bisa dibilang, iya Mama capek, tapi enggak apa-apa, soalnya ada kamu di rumah ini.”
“Terus, kalau Kak Ally dan Kak Sinta gimana? Apa yang mereka mau?”
Ketika itu Mama hanya bergeming, “ya…” katanya sambil melihat ke bawah. “Mari kita lihat ya, semoga Sinta serius kerjanya di bank.”
“Oh, tempat kerjanya Kak Sinta namanya bank?”
“Iya, Sara.”
“Kalau Kak Ally di mana?”
Mamaku cuma tersenyum dan mengelus rambutku, “kamu mau Mama beliin buku cerita tentang apa?”
Mama mengalihkan pembicaraannya karena ketika itu, yang kutahu setelahnya kakakku telah di-drop out dari kampusnya.
Aku menatap Mama cukup lama. Lalu, suara Petty terngiang dibenakku.
Buku tentang pelukis…
“Buku tentang pelukis, Ma,” jawabku mengikuti suara Petty.
“Kamu suka kalau lagi mewarnai, ya?” Tanya Mama karena dia sering menemaniku saat mewarnai menggunakan krayon. “Nilaimu 98, kan?
Aku mengangguk, jelas. Saat itu setiap anak di sekolahku bisa mewarnai dengan krayon, tapi tak semua bisa mewarnai tanpa keluar garis. Hanya aku yang bisa.
Tunggu dulu, kok aku ingat?
Dan, 98? Nilai mewarnaiku 98? Wow.
Semua akan tersingkap perlahan, Sara.
“Mbak Petty?” Ucapku dengan suara kecilku.
Sinar putih kembali menghambur, seperti tirai dalam lakon yang mengganti suatu babak ke babak lainnya.
***
Sebuah kanvas berukuran 30 x 40 bertengger di atas easel, menampilkan lukisan air terjun setengah jadi.
Topi pet kukenakan di kepalaku seolah tengah berlakon menjadi pelukis. Perintilan kecil seperti kuas, palet, dan cat air sudah tersusun rapi di meja belajar di hadapanku. Jemariku menjepit kuas pipih dengan teramat lihai karena mungkin aku sudah melakukan ini berulang kali.
Kita pernah ada di sini, Sara.
Lalu, lukisan air terjunku berganti menjadi siluet orang yang betul-betul kukenal. Petty!
“Mbak Petty? Kok, bisa?” Aku mendengar suaraku lagi. Kali ini aku terdengar sudah lebih dewasa dari sebelumnya. Mungkin aku berusia sepuluh sampai sebelas tahun dan tampak menggandrungi kegiatan ini, terlihat dari baju yang terkena percikan cat.