“Ini alasan kenapa kamu sudah mau bunuh diri saat SMP,” suara Petty menggema dalam pikiranku. “Dan, kenapa kamu bisa membuat aku mewujud.”
Hah? Apa maksudnya?
PLAK!
Tamparan keras di batok kepala membuatku tersadar dari tidur pulasku. Gemuruh yang menjadi tanda ada keriuhan di sekitarku menjadi hal yang kubaui pertama kali.
“Bukan belajar malah menggambar! Giliran tugas kelompok malah bikin susah! Dasar bego!”
Suara itu—samar-samar aku mengenalinya. Jauh di lubuk benakku, aku tahu ada sesuatu yang terkubur. Gelitik tak nyaman pun lantas kurasa bersemayam di dadaku. Lambat laun, gelitik itu berubah menjadi debum tak mengenakkan seperti ada pelantang bas menempel di tubuhku.
Aku memaksa mataku untuk membuka kembali hanya untuk mendapati diriku kembali ke ruang kelas neraka itu. Rasanya—ah! Aku sungguh tak nyaman karena sesak mulai mencekikku.
Di barisan kursi, aku melihat beberapa anak lainnya. Mereka mengenakan seragam putih-biru SMP yang langsung membuat tegangan di kepalaku jadi super tinggi. Aku pun melompat dari kursi hingga kursi di sebelahku jatuh terbanting.
Mereka adalah sosok yang pernah kulihat ketika SMA—saat jurit malam acara kemah sekolahku. Aku jatuh sampai berguling karena kemunculan mereka secara tiba-tiba.
Pandanganku lalu mengedar ke ruang kelas yang resik, dengan gorden biru dan proyektor otomatis. Jelas sekali ini adalah ruang kelas di sekolah SMP-ku. Tak perlu kusebutkan detailnya, tapi saat pandanganku mengenai meja, di situ kulihat tulisan tanganku:
Tolong…
Nilai 0,25 pada kertas ujian matematikaku..
Entahlah saat itu aku minta tolong kepada siapa.
Dan kalau semua ini benar, yang kualami saat ini adalah kisahku satu dekade yang lalu. Aku mulai mengingat larik-larik tipis dari peristiwa yang entah mengapa terlupa begitu saja.
Aku mencoba melongok kolong mejaku. Di sana penuh kertas ulangan yang mulai kekuningan. Kebanyakan pula dari sampah itu adalah kertas ulangan matematika yang nilainya berkisar 0 sampai paling tinggi 5.
Namun, tak lama kulihat coret-coretan pulpen berbentuk ilustrasi segerombol manusia yang mengelilingi satu orang. Ilustrasi itu dibuat begitu baik, bahkan setiap lekuk garisnya mirip siluet orang-orang di depanku ini.
“Panggil Patrick aja orang bodoh kayak gini!” Sahut salah satu murid. “Kerjaannya cuma tidur, nyontek, kalau enggak jadi beban kelompok. Mirip Patrick yang bisanya tidur sama gangguin Spongebob doang.”
“Pat!” Murid wanita yang telah kulupakan namanya, mulai memanggilku dengan sebutan baru.
“Pat!” Disahut murid lainnya.
“Patrick!”
Aku masih diam melihat kertas-kertas itu.
“Idih enggak nengok! Sombong lo!”
Aku pun memilih melenggang begitu saja melewati pintu kelasku. Namun, mereka semua seperti takkan melepaskanku begitu saja. Mereka mengejarku sampai aku berlari di sepanjang koridor.
“Pet, sini lo! Beliin gue Milo!”
Selagi aku berlari, aku mulai ingat adegan ini dengan jelas. Ini adalah ketika aku menolak membelikan mereka makanan dan minuman di kantin. Adegan kejar-kejaran kerap terjadi saat uang jajan bulananku sedang menipis. Di sepanjang koridor itu, mereka terus meneriakiku dengan berbagai makian bahkan tak jarang mereka merusak barang-barangku juga.
Apa salah barang-barangku?
Apa salah aku?
“Rusakin aja tasnya, woi!”
Aku menoleh ke belakang, isi tasku sudah buyar di ubin koridor. Kulihat mereka mulai mengguntingnya.
Aku lemas, tas itu ada sedari aku SD! Pemberian Mama yang saat itu tergiur tawaran tas dari temannya.
Ketika lariku melambat, saat itulah ada salah satu orang yang menarik tali bra-ku dari belakang sampai copot. Aku menoleh kepadanya, dia bernama—tunggu, rasa-rasanya tak penting nama orang itu. Lalu, tepat pada saat aku melewati toilet, aku masuk ke salah satu biliknya dan duduk di atas tutup kloset.
Astaga, Tuhan. Jadi ini yang pernah kualami?
“Sara, ini aku,” dan tak kusangka, kudengar suara Petty.
Tanpa basa-basi karena jelas diriku sudah aman, aku keluar dari bilik itu.
Petty menungguku di deretan wastafel, dia berdiri dengan tangan tersampir ke belakang, tatapannya menjadi tajam ketika melihatku.
“Mbak, aku enggak ingat pernah alami ini semua,” suaraku menjadi begitu kecil hingga adakalanya menghilang karena serak.
"Jelas, Sar," ucapnya. “Siapa juga yang mau mengingat kejadian nelangsa kayak begini? Mana setiap hari juga terjadinya. Belum lagi masalah di rumahmu. Ya, enggak heran kalau pada akhirnya, kamu memblokir semua ingatan ini.”
Seketika, sekeliling kami berubah menjadi ruangan konselingnya di kantorku. Petty duduk di meja kerjanya, sementara aku berada di sofa beludrinya.
“Kalau sekarang ingat?” Tanyanya di kursi kerjanya. Wajahnya yang tenang membuka secercah memori samar akan kehidupanku. “Kamu pernah lakukan ini sebelumnya.”
“Aku ke konselor waktu SMP?”
Dia mengangguk, “ingat namanya siapa?”
“Siapa?”
Petty kembali memberiku sebuah buku cerita yang semula pernah kulihat. Buku ini adalah tentang pawang hewan sirkus yang sehari-hari bekerja untuk melatih hewan buas sampai jadi penurut dan jinak.
Buku itu ia buka pada halaman pertama, tertanda pemberian dari sebuah nama: Raras Swastika.
“Wujud yang kamu pinjam untuk menghidupkan Petty dalam kepala adalah milik Ibu Raras Swastika, seorang psikolog sekolah yang dulu pernah praktek konseling di sekolahmu.”
“Jadi, kamu hanya imajinasiku?”
Dia mengangguk, meyakinkanku, “dulu kamu setiap hari hanya membaca buku-buku yang mamamu kasih. Lambat laun, pikiranmu jadi senang berimajinasi dan membuat skenario sampai pada satu titik kamu munculkan aku dalam kepalamu.”
“Sebagai teman khayalan? Tapi, kan aku sudah SMP, mustahil kalau aku—”
“Kamu enggak punya teman saat itu, Sara,” katanya. “Jadi, wajar-wajar saja aku muncul di dalam hidupmu. Toh, keberadaanku ini yang membuat masa SMA-mu lebih baik. Nilai-nilai-mu naik, kamu bisa berteman sama Geng Masa Bodoh sampai kamu punya mimpi untuk jadi ilustrator dan mau masuk kampus seni IKJ.”
“Loh, terus, kenapa aku tahu-tahu masuk UI?”
“Kamu melupakan itu juga, ya?” Tanya. “Itu kali pertama kamu dan papamu bertengkar cukup hebat.”
Sebersit ingatan pun melintas tanpa permisi, membawaku kembali ke masa lalu yang terkubur dalam-dalam sampai aku meluputkannya sebagai bagian dari hidupku.
“Bocah gila! Ngapain daftar di IKJ?”
Mataku terbuka dan aku sudah berada di ruang makanku.
Kulihat perut Papa terlebih dahulu karena memang aku akan selalu menunduk jika dimarahi oleh dia. Kulirik kanan dan kiriku, ada Mama berdiri ketakutan di depan pintu kamarku. Di sisi tangga ada kakak pertamaku yang setelah kuingat kembali, baru saja bercerai dengan suami keduanya.