Setelah semua kejadian itu, saat aku hampir mencapai batas akhir hidupku—akhirnya aku kembali bertemu Gabby di kantor. Namun, aku ke sini bukan untuk bekerja lagi, melainkan memberikan cendera mata perpisahan—dua lusin donat untuk Gabby dan yang lainnya.
Selama berminggu-minggu, aku menjauh dari tempat ini atas saran konselorku di puskesmas—sayangnya bukan Raras alias Petty siapalah itu, karena aku bahkan tidak tahu di mana dia sekarang. Konselorku itu berkata bahwa kantor ini adalah stresorku dan kapan saja bisa memicu ‘anjing hitam’ yang belakangan ini sudah mulai jinak. Dan, itulah yang kujadikan alasan pengunduran diriku kepada SDM. Dengan berbekal surat dari konselorku, aku pun terbebas dari jerat penalti yang nominalnya aduhai. Aku sendiri tidak tahu mengapa begitu mudahnya mereka melalaikan aturan yang mereka buat sendiri.
Ya, tahu gitu, sedari lama saja aku manfaatkan surat diagnosisku untuk mengundurkan diri, pikirku. Barangkali juga mereka memang tak mau mengambil risiko untuk tetap mempekerjakan aku yang jelas-jelas sudah hampir mati karena tak tahan di kantor ini.
Pada awalnya saat aku pergi ke sana, aku sempat merasa resah hingga harus bolak-balik ke toilet. Aku takut kalau-kalau pengunduran diriku akan menjadi bahan cacian para atasanku dan menyalahkan generasiku karena mentalnya telah gagal terbentuk. Namun, untungnya dugaanku salah.
Mereka semua memang tidak meminta maaf secara langsung, tapi dari pengakuan Gabby, Pak Dirja sudah tidak lagi sering berteriak apalagi melempar payung. Dia juga sudah mengembalikan Gabby sesuai fitrahnya yaitu menyusun laporan dan bukan untuk membuat kopi setiap kali perwakilan Kata Cita datang ke kantor. Bu Maryam dan Bu Riana pun mulai jarang meributkan kelakuan atasan mereka karena tabiat Pak Dirja perlahan membaik. Mereka semua menjadi jauh lebih tenang karena selalui dihantui ketakutan apabila Gabby—staf yang satu-satunya tersisa melakukan percobaan bunuh diri sepertiku.
“Baru masuk kok, udah bawa donat, sih Sar?” Gabby menyambutku di pintu masuk kantor. Dia menyengir lantaran tahu niatanku yang sesungguhnya. “Akhirnya, ya Sar,” bisiknya kepadaku.
Dan, di sinilah aku berdiri sambil membawa dua lusin donat sebagai simbol dari pengunduran diriku. Aku ingin berpamitan kepada ibu-ibu—Ibu Maryam dan Riana sebelum menemui Pak Dirja yang batang hidungnya juga belum ada. Kuharap dengan donat ini mereka takkan ribut sekalipun saat mengiringi pengunduran diriku.
“Sara, kita semua senang kamu sudah sembuh,” Ibu Riana menyapaku. Tanganya terlebih dahulu mengambil bingkisan yang kubawa sebelum menanyakan apakah donat ini benar untuknya atau bukan? Lucu juga.
Aku terkekeh saja melihat kelakuan dia, “saya juga senang masih punya kesempatan ketemu Ibu lagi,” kataku. “Oh, iya, ini donat memang untuk kenang-kenangan pengunduran diri saya, ya Bu.”
Bu Maryam terlonjak dari kursinya, “loh, Sara? Kamu kapan kirim surat resign? Kok, enggak ngomong ke aku dulu?”
“Anu—bukan kirim, tapi waktu itu Ibu pernah jenguk saya sama Gabby dan situ saya pernah kasih suratnya ke Ibu. Sebentar, Bu.”
“Sini gue taruhin plastik yang satu,” Gabby mengambil plastik lain dari tanganku.
Aku memutar tasku sampai berada di depan dada untuk menemukan surat pemungkas itu. Beruntungnya aku tak seberapa bodoh untuk meninggalkannya di rumah sakit saat ini. “Ini loh, Bu,” kataku sambil menyodorkannya. “Ibu sudah tanda tangan, kok. Jadi, per hari ini harusnya saya sudah keluar, tadi juga sudah dapat surat paklaring dari SDM.”
“Lah, jadi ini surat resign?” Bu Maryam menilik kertas itu sampai begitu dekat dari matanya. “Aku pikir cuma cuti panjang.”
“Ih, Mbak gimana, sih! Masa enggak lihat-lihat?” Bu Riana menampar lembut bahu Bu Maryam.
Namun, Bu Maryam tak menghiraukan ocehan Bu Riana. Dia tetap mempertanyakan tindakannya beberapa waktu yang lalu, ketika aku baru dua hari siuman dan Gabby membantuku membuat surat resign dari jarak jauh.
“Makasih, ya Gab udah bantuin,” aku merangkul Gabby. “Yang buat suratnya Gabby, Bu.”
“Iya, kan waktu jenguk Sara, kita udah ngomongin ini, Bu,” kata Gabby.
“Kok, aku lali?” Jawabnya heran. “Terus penaltimu gimana?”
“Karena ini urusannya kesehatan dan ada urgensi jelasnya, jadi SDM menghapuskan penalti untuk kasus saya. Pak Dirja sendiri yang bantu saya buat bicarakan ini ke SDM.”
“PAK DIRJA?” Mereka berdua berteriak.
Aku mengangguk, “sebelum Bu Maryam datang sama Gabby, Pak Dirja sudah duluan datang. Waktu itu saya langsung cerita semuanya dan saya bilang, kalau konselor saya menyarankan untuk pindah tempat kerja.”
“Terus dia setuju aja gitu?” Kata Bu Riana.
“Iya,” sebuah suara menyahut dari belakangku.
Kami pun menoleh ke asal suara, yaitu Pak Dirja yang berdiri di belakang kami semua. Bersamanya, kulihat dia menggandeng seorang anak kecil yang kuduga bernama Arwin…Arwin Anakku. Mereka berdua berjalan mendekati kami, dan ayahnya mengulurkan tangannya untuk aku jabat.
“Siang, Pak Dirja,” ucapku. Lalu, pandanganku tertuju kepada Arwin yang tiba-tiba mencium tanganku. “Arwin, ya?”
Pak Dirja mendongak tak percaya, “eh, kok kamu tahu?”
Aku tersenyum, “saya mohon pamit, ya Bapak dan Ibu.”
“Tapi kamu udah dapat kerja, Sar?” Tanya Bu Maryam. Dia terdengar cemas, tapi dugaanku dia lebih mencemaskan hilangnya satu staf ketimbang kondisiku yang sebenarnya.
Aku menggeleng, “saya kursus ilustrasi, Bu.”
“Loh?” Mereka bertiga menganga. “Kamu mau jadi apa kursus gituan?”
“Ilustrator buku anak,” kataku tegas.
“Mantep bener lo!” Gabby sekonyong-konyong mengatakan ini sambil merangkulku. “Untung kagak jadi mati lo.”
“Untungnya, sih,” jawabku sambil terkekeh. “Makasih juga ya, waktu itu udah dateng.”