Kompleks pemakaman papaku semakin gersang saja. Pohon-pohon besar banyak ditebang dengan dalih membahayakan. Padahal, aku tahu itu untuk menambah lahan bagi para pendatang baru. Dari sekian banyak pohon yang ditebang, paling hanya menambah tiga sampai empat liang baru untuk ditempati.
Situasi di sana kian padat dengan hadirnya pedagang kaki lima yang tak kunjung ditertibkan. Perjalanan menuju makam Papa pun bukanlah menjadi hal yang menyenangkan bagiku. Bukan karena aku akan menangis dan meratapi kematiannya seperti kakakku, aku hanya—tak bisakah makamnya dipindahkan ke tempat yang lebih memanusiakan orang mati?
Kulihat kiri dan kanan banyak makam yang jeblos. Apabila lengah sedikit, boleh jadi kakimu akan terisap masuk ke salah satu liangnya. Aku sungguh tak ingin itu terjadi, sejak kematian pernah lekat dalam hidupku dua hari yang lalu.
Jika saja aku memilih untuk mengikuti keinginan aku, mungkin lahan-lahan baru itu akan menjadi tempatku kelak. Setelahnya, aku hanya akan menyusahkan mamaku untuk datang ke tempat seperti ini lagi bahkan kembali merobek lukanya semakin dalam.
Pada dasarnya, orang tua yang kehilangan anak, tentu dukanya tak tertandingi bahkan kata-kata pun tak sanggup menciptakan sebutan bagi orang tua yang ditinggal mati anaknya.
“Kok, tiba-tiba bisa?” Tanya Mama sebelum kami sampai di makam Papa.
“Soalnya habis mimpi berantem sama dia,” jawabku. “Di mimpi aja dia masih ngajak ribut. Mending sekalian didatengin buat minta klarifikasi.”
Aku bahkan juga tidak cerita tentang pertemuanku dengan Mama sewaktu ia berubah menjadi piksel. Bagiku, cerita-cerita seperti itu baiknya disimpan saja karena buat apa? Selain tidak akan ada yang mengerti aku juga mencegah diundang infotainment tiba-tiba karena mengalami hal supranatural pada saat masa kritisku. Siapa juga yang mau?
Kepalaku lantas ditoyor olehnya, “hush! Jaga omongan, ini kuburan!”
“Ya, kan emang kuburan bukan sekolahan,” jawabku.
“Habis sakit kamu jadi lebih bawel, ya?” ucapnya. “Tapi, Mama bersyukur, masih bisa ke sini sama kamu, bukan anterin kamu.”
“Astaga, ngomongnya!”
“Ya, kan kemungkinanmu waktu itu cuma dua, hidup atau selesai,” kini dia menatapku lagi. Cukup lama seperti Andra, aku pun salah tingkah lagi.
“Kenapa?” Tanyaku karena dia masih tidak berhenti menatapku.