Pengakuan Psikopat

Verawati Halim
Chapter #1

Pendahuluan

Febi mempercepat langkahnya. Gadis itu berjalan menyusuri gang kecil dan gelap itu karena itu satu-satunya jalan menuju ke kostnya. Didengarnya suara seperti langkah kaki tapi samar-samar dan terasa jauh. Ia menoleh ke belakang dengan gerakan yang tiba-tiba…tidak ada siapapun. Perasaan apa ini? Seperti perasaan cemas bercampur takut dan kuatir yang tidak pada tempatnya. Sudah kesekian kalinya Febi merasa ada yang mengikutinya di belakang sepulang ia dari kampus. Gadis itu memutuskan cepat-cepat berlari sampai ke kost dan segera masuk ke kamarnya. Gang kecil itu begitu sepi, jauh dari kamar kost Febi. Seorang pria bertubuh tinggi berpundak lebar sedang berdiri setengah tertutup tembok, sedang memperhatikan Febi yang setengah panik masuk ke kost.

8 bulan sebelumnya…

Dengan wajah sumringah Febi menapakkan kakinya melewati pintu gerbang itu. Area itu terlihat luas dengan beberapa bangunan dan taman-taman di dalamnya. Febi terus melangkah menyusuri jalanan paving dihadapannya. Sambil melihat peta kampus yang dipegangnya, ia melangkah menuju ke Gedung fakultas hukum, fakultas yang akan ia tekuni untuk mencapai mimpinya. Gadis itu sedang mengawali masa yang sudah ia tunggu-tunggu sejak kelas 10, yaitu kuliah.

“Empat tahun…kalau bisa tiga setengah tahun…” ujarnya dalam hati sambil tersenyum membayangkan ia akan belajar dalam bidang yang disukainya. Impiannya untuk menjadi seorang ahli hukum, seorang pengacara, seakan semakin dekat.

Tidak lama kemudian ia telah berada di sebuah taman yang sangat luas dengan gazebo-gazebo di samping taman itu. Ia melemparkan pandangannya jauh mengelilingi taman bundar itu. Begitu banyak orang lalu lalang di taman itu. Lalu ia mulai merasa kecil melihat luasnya taman berumput dengan banyaknya orang berinteraksi di situ. “Di mana?... di mana gedungnya?” Febi mulai kehilangan fokusnya. “Aduh ini luas sekali dan banyak sekali orang disini.” Wajahnya mulai menunjukkan ekspresi tidak nyaman dengan banyaknya mahasiswa yang sedang duduk-duduk dan berjalan-jalan di taman rumput yang luas itu. Banyak dari mereka berkelompok, ada yang sedang duduk di gazebo sambil bercanda, ada yang sedang berjalan berdua atau bertiga. Semua orang yang ada di taman itu terlihat nyaman dan menikmati waktu mereka.

Hhhh! Febi menghela nafas panjang. Jika ada angka 1 sampai 10 untuk menilai kemampuan sosialisasi, gadis berambut pendek dan kusut itu mungkin ada di angka 1. Ia bahkan lupa memasukkan sosialisasi dalam rencana masa kuliahnya. Febi terlihat sibuk menyocokkan area yang luas dan ramai itu dengan peta yang ada di tangannya. Ia mulai panik, 10 menit lagi upacara pembukaan akan dimulai, “Gedung itu berarti yang ini…ini taman kan…gedung yang ini kok gak ada ya?” Febi kehilangan fokus dan tidak dapat menemukan jalan menuju aula. “Mungkin sebaiknya tanya orang ya…” Kepanikannya semakin memuncak dan … itu dia! Ada yang sedang duduk sendirian di bangku taman. Febi segera menghampiri orang itu. “Permisi,” ucapnya membuat pria berambut cepak itu melepaskan tatapannya dari smartphone digenggamannya. Pria itu menatap Febi sambil tersenyum lembut membuat jantung Febi berdegup lebih cepat dari normal.

“Aula upacara pembukaan dimana ya?” tanya Febi tanpa berani menatap mata lawan bicaranya.

“Anak baru?” Pria itu mencoba memastikan.

“I…iya…” jawabnya agak tersendat.

Pria itu berdiri, kulitnya yang putih pucat begitu kontras dengan kaos hitam polos yang dikenakannya. “Yuk!” ajaknya sambil berlalu berharap Febi akan mengikutinya.

“Hh?” Febi kebingungan kenapa pria itu harus berdiri dan kenapa dia mengajaknya. Pria itu menoleh ke belakang karena menyadari Febi terpaku di tempatnya. “Aku anterin. Aku tahu jalan yang lebih dekat” ajaknya.

Sekali lagi ia tersenyum. Oh, ada ya orang yang mau bela-belain anterin anak baru tidak dikenal ke tempat tujuan. Dengan heran, Febi mengikuti pria itu dari belakang. Langkahnya begitu cepat membuat Febi agak kewalahan mengikutinya. Menyadari gadis itu agak tertinggal di belakang, pria itu memperlambat langkahnya agar Febi bisa menyusulnya. Tak berapa lama, mereka sudah sampai di depan aula utama. Setelah Febi mengucapkan terima kasih, pria itu segera berbalik ke jalan yang barusan mereka lalui. Febi tersenyum sendiri sambil melihat punggung pria itu.

“Dia jurusan apa ya…” sesalnya karena tidak sempat berbincang banyak. Kemudian Febi bergegas mencari tempat duduk untuk fakultas hukum. Tempat sudah hampir penuh, acara segera dimulai. Gadis itu berusaha mencari tempat kosong di barisan belakang tapi nampaknya barisan belakang menjadi tempat favorit. Tidak ada waktu lagi mencari tempat kosong yang nyaman, begitu pandangannya menemukan tempat yang masih kosong, segera ia duduk di kursi itu.

Terdengar dengungan mic, “Selamat siang saudara-saudara!” Tampak seorang wanita memakai blazer hitam berdiri di atas panggung. “Selamat datang kepada mahasiswa angkatan 2019/2020…” Sekali lagi hati Febi bergetar, “aku mahasiswa sekarang…” pikirnya bangga akan keadaannya saat ini. Pidato demi pidato bergulir hingga matahari mulai terik dan upacara pembukaan berakhir. Para mahasiswa baru pun berhamburan keluar. “Kenapa semua seperti sudah punya teman, padahal sama-sama baru masuk. Hhh…” Lagi-lagi ia menghela nafas dan merasa asing dengan banyaknya orang-orang di sekitarnya.

Lihat selengkapnya