Pengakuan Psikopat

Verawati Halim
Chapter #3

Semester Satu: Masa Kuliah Penuh Kesempatan

Suatu siang…

Jam menunjukkan pukul 12:05, waktu istirahat makan siang sudah hampir selesai. Febi dan Jennifer sedang berlari-lari kecil menuju kantin. “Kita punya waktu makan gak nyampe dua puluh menit nih” kata Febi dengan nada tersengal-sengal. “Gara-gara ngeprint paper lama banget, iiih!” Sahut Jennifer. Begitu tiba di kantin, mereka langsung menuju ke stand bakso malang karena itu adalah makanan yang paling cepat saji. Kedua gadis itu segera memesan dua porsi. Kantin sudah mulai sepi dan banyak tempat yang kosong. Sambil membawa bakso yang masih panas, mereka segera menuju ke meja paling dekat. Belum sempat kedua gadis itu duduk, tiba-tiba Ian menyerobot tempat itu, duduk dan makan di sana dengan cepat. Melihat kejadian itu Jennifer sangat kesal dan ingin mendamprat Ian tapi Febi segera memanggil Jennifer agar tidak perlu menanggapi perilaku Ian. Dan mereka mengambil tempat lain yang masih kosong.

“Kenapa sih kak Ian itu?” ucap Jennifer terheran-heran. “Aku rasa dia sentimen sama kamu lo.”

Febi terdiam mendengar analisa dari Jennifer. Febi pun merasakan yang sama mengenai hal ini. “Tadi waktu ngeprint juga…” lanjut Jennifer, “kamu minta tolong karena gak bisa ngeprint, eh dia malah sengaja nyuekin kamu.” Febi hanya bisa diam sambil terus berusaha menghabiskan semangkuk baksonya. Apa yang dipikirkan Jennifer benar. Semuanya benar. Ian memang tidak suka dengan Febi dan Febi juga merasakan yang sama. Hanya saja…bersengketa dengan Ian…adalah hal yang sebaiknya dihindari. Mengapa? Pertama, Ian adalah senior. Kedua, Ian adalah mahasiswa dengan GPA tertinggi. Ketiga, Ian adalah mahasiswa yang paling dipercaya oleh dosen-dosen, bahkan beberapa dosen pun segan terhadapnya. Keempat, terlalu banyak cewek-cewek yang menyukai Ian. Ini berarti, … bermusuhan dengan Ian akan menimbulkan masalah dengan segala penghuni Gedung FH dari segala kalangan. “OOOH TIDAAAK…!” Febi hanya bisa menjerit dalam pikirannya sedangkan dari luar Febi tidak bisa menunjukkan reaksi apapun, hanya bisa diam menghabiskan baksonya.

Hari itu Febi belajar di perpus hingga tak terasa waktu sudah larut malam. Ia melemparkan pandangannya ke sekeliling ruang di perpus, kursi-kursi kosong, semua buku-buku telah tertata rapi kembali ke rak-rak yang tinggi itu. Suasana perpus di waktu malam terasa begitu berbeda dengan suasana di siang hari yang dipenuhi dengan para mahasiswa, pendingin masih tetap menyala penuh membuat suasana terasa makin dingin. Tidak ada seorangpun kecuali dirinya.

“Waduh…dah malem banget ya,” pikirnya, “pulang deh.” Kemudian Febi membereskan buku-buku dan laptop yang ada di depannya dan ia segera beranjak menuju ke luar kampus. Kost yang ditinggali Febi berjarak kira-kira 30 menit dari kampus dengan berjalan kaki. Seperti biasanya, dari kampus Febi berjalan kaki menyusuri jalanan besar yang di tepi kirinya adalah tanah kosong yang ditumbuhi rumput-rumput liar. Setelah berjalan selama sekitar 20 menit menyusuri tepian tanah kosong, di ujung terdapat gang kecil yang membatasi hamparan tanah kosong itu. Gang itu begitu gelap dan tidak terlihat seorangpun lalu-lalang melewatinya. “Minggu depan ujian…” ucapnya pelan memecahkan keheningan yang pekat. “Kalo bisa dapet A semua, semester berikut pasti aku ambil sks lebih lagi…” lanjutnya. Febi diam sambil terus berangan-angan mendapatkan hasil sempurna di semester 1 ini. Ia terus melangkah mendekati kost, diayunkannya langkahnya dengan santai, tapi…apa ya? … Febi melambatkan langkahnya mulai sedikit sensitif. … Ia melangkahkan kakinya lebih perlahan lagi sambil mencoba membuka telinganya lebar-lebar, sepertinya ada suara yang lain selain langkah kakinya. … suara itu begitu tipis. Lalu Febi melangkah berhati-hati dan kemudian berhenti. Krrrk! Ada suara yang lain! Febi menoleh ke belakang tapi tidak ada siapapun. Ketika ia membalikkan wjahnya ke depan, terdengar lagi…krrk! Suara itu lagi! Apa itu? Sekali lagi gadis itu menoleh ke belakang dengan ketakutan. Tapi tidak ada apapun yang bergerak. Ia tidak berani lagi menoleh ke belakang dan mempercepat langkahnya. Kali ini didengarnya suara seperti langkah kaki tapi terasa jauh. Sekali lagi ia menoleh ke belakang dengan gerakan yang tiba-tiba…tidak ada siapapun. Kemudian ia cepat-cepat berlari sampai ke kost dan segera masuk ke kamarnya. Gang kecil itu begitu sepi, tak ada seorangpun yang berjalan melewatinya saat itu kecuali Febi. Tapi…jauh dari kamar kost Febi, seorang pria bertubuh tinggi dan berpundak lebar sedang berdiri setengah tertutup tembok dan memperhatikan dengan tatapan dingin.

Musim ujian semakin dekat...

Setiap mahasiswa terlihat begitu serius belajar kali ini. Populasi di perpus pun meningkat dibandingkan hari-hari kuliah biasanya. Bahkan di lobi gedung FH pun, semua orang terlihat sibuk membolak-balik buku dengan serius. Akhirnya masa ujian pun tiba. Dengan pemikiran perfeksionisnya, Febi memasang target bagi dirinya sendiri untuk mendapat hasil sempurna di setiap mata kuliah yang telah diambilnya. Gadis pekerja keras itu melalui setiap ujian-ujian yang ia hadapi dengan sangat percaya diri. Beberapa orang mengakhiri masa ujian dengan wajah kusam dan penuh penyesalan, sebagian lagi dengan wajah puas karena menghadapinya dengan penuh persiapan, sebagian lagi dengan wajah penuh harapan menantikan liburan semester. Bagi para mahasiswa FH tingkat satu, kegiatan liburan telah disiapkan oleh para pengurus Himpunan Mahasiswa, yaitu Camping Bersama.

Febi masih tertegun menatap poster Camping Bersama yang ditempel di mading. “Kebayang apa waktu camping nanti?” suara Jennifer yang datang tiba-tiba dari sebelah kanan Febi membuyarkan lamunannya. “Kebayang berapa banyak duit yang harus aku keluarkan untuk melakukan hal yang aku gak niat,” jawab Febi dengan nada malas. “Aku nggak yakin kamu gak niat,” balas Jennifer dengan senyum nakal. “Tahukah anda siapa tokoh dibalik kegiatan kebersamaan ini?” lanjutnya dengan nada yang dibuat berat. Febi menoleh ke arahnya dengan kelopak mata setengah tertutup menunjukkan ketidaktertarikannya. “Anda dapat melewatkan dua malam bersama…” Jennifer berhenti sejenak. “Alwi Santoso,” sambungnya, kali ini dengan nada setengah berbisik. Mendengar nama itu membuat hati Febi bergetar dan mulai tersenyum-senyum sendiri. Membayangkan pria lembut itu seakan surga hadir dalam hati Febi. Tapi begitu ia membalikkan badan, surga berubah menjadi neraka. Ia hanya dapat melihat dada bidang yang hampir tertempel dengan pucuk batang hidungnya. Ian sedang berdiri di depannya bersama Sandra si cantik dan tinggi semampai. Ian menatap Febi dengan tatapan dingin tapi kemudian segera memalingkan wajahnya dan melewati Febi tanpa menyapa.

“Kak Ian, ikut Camping Bersama gak?” tanya Sandra yang terus mengikutinya dengan nada manja. Febi merasa Ian seperti menyembunyikan sesuatu. “Mungkin dia sebenarnya menyimpan kejahatan yang tidak diketahui orang-orang?” ujarnya pelan. “Dan orang-orang kayak Sandra yang cuma bisa liat wajah gantengnya tanpa tahu sifat aslinya.” timpal Jennifer berada di pihak Febi. Kemudian mereka berdua meninggalkan tempat itu.

Tibalah saatnya Camping Bersama para mahasiswa tingkat 1 dan para pengurus Himpunan Mahasiswa. Hawa dingin di Ciwangun langsung terasa setibanya rombongan mahasiswa FH tingkat 1 di lokasi camping itu. Mereka berhamburan keluar dari bis dan segera menghirup udara segar di pegunungan itu. Pohon-pohon pinus yang berderet menjulang tinggi memulihkan kepenatan. Burung-burung mendaratkan kakinya di tanah sambil sesekali mematukkan paruhnya ke bawah untuk mengenyangkan perutnya. Di area camping terlihat beberapa senior termasuk Alwi yang sudah terlebih dulu tiba, sedang mempersiapkan beberapa tenda.

Begitu tiba, para mahasiswa baru diwajibkan untuk membangun tendanya masing-masing bersama-sama teman satu tendanya. Febi kebagian satu tenda bersama Sandra. Sementara Febi sedang berusaha menyambung tiang-tiang rangka tenda, hanya berjarak kira-kira satu meter dari sana, terlihat Sandra sedang sibuk memperbaiki dandanannya. “Mmm, jadi kering nih kulit…” gumamnya kemudian bersenandung sambil meneruskan mengoleskan mascara pada matanya. Setelah menyambung tiang-tiang rangka, Febi berusaha untuk memasang tenda ke tiang-tiang rangkanya tapi sepertinya terlalu sulit untuk melakukannya sendiri. Kemudian Febi mengarahkan wajahnya ke arah Sandra, melihat Sandra yang tidak peduli untuk memasang tendanya sendiri, Febi kemudian menghela nafas panjang tanpa mengucapkan sepatah katapun. Tapi tanpa diharapkan, tiba-tiba…

“Aku bantuin.” Alwi datang menghampiri Febi yang lagi kesulitan. Dilihatnya Alwi berjalan mendekatinya sambil tersenyum walaupun ia mungkin sudah lelah karena baru selesai mendirikan tenda induk. Jantung Febi berdegup kencang, semakin Alwi dekat, semakin cepat jantungnya berdegup. “Oh, nggak papa kak…” balas Febi dengan canggung tak berani menatap mata Alwi. Dengan sigap Alwi memegang kain tenda dan memasangnya pada tiang-tiang rangka itu dan… ”Kamu tarik yang sebelah sana ya,” perintahnya pada Febi. Lalu mereka secara bersamaan menarik ujung-ujung kain tenda dan mengikatkannya pada pasak tenda yang sudah ditancapkan ke tanah. Tanpa kesulitan, mereka berdua berhasil mendirikan tenda itu.

“Terima kasih kak,” ucap Febi.

“Sama-sama.” Jawab Alwi dengan nada lembut khasnya.

Oh, Febi serasa terbang ke langit. Jennifer benar, dua malam outing bersama pria yang disukai akan membuat kenangan-kenangan indah. Ketika tiba acara makan malam bersama pun Febi menggunakan kesempatan ini untuk memperhatikan Alwi terus dari meja yang lain. “Huss! Udah jangan diliat terus. Tar kegigit lidahnya,” goda Jennifer. Lagi-lagi Febi senyum-senyum sendiri dan menundukkan kepalanya. Tiba-tiba, datang seorang senior duduk semeja dengan mereka. “Hai Jennifer,” sapa senior itu ramah. Jennifer hanya melihatnya tanpa balas menyapa senior itu. Febi yang merasa tak enak dengan sikap egois Jennifer langsung balas menyapa kembali menggantikan Jennifer. “Halo kak Rendy,” sapanya berusaha menutupi kecuekan Jennifer. Selain Sandra yang banyak diperhatikan pria-pria, Jennifer juga salah satu cewek yang disukai oleh pria-pria FH, dan salah satu yang menjadi fans beratnya adalah Rendy. Tapi berbeda dengan Sandra yang suka bermanja-manja memanfaatkan kecantikannya, Jennifer agak sedikit tomboy dan tidak suka dengan para pria yang sengaja mendekatinya.

“Hai Feb,” balas Rendy. “Eh, kamu anak tingkat satu yang pengen lulus kurang dari empat tahun itu kan ya?” lanjutnya lagi.

“Hh?” Febi bengong, kurang dapat mencerna maksud pertanyaan itu.

Rendy tertawa kecil. “Kayaknya lu ditargetin sama Ian deh,” katanya.

JREEEENG!! Bagaikan sebuah batu besar jatuh ke atas kepalanya, perkataan Rendy mengkonfirmasi kekuatiran Febi selama ini. Febi menarik nafas dalam dan menutup kedua kelopak matanya tanda putus harapan. ‘Ditargetin sama Ian.’ Kalimat ini…

“Ditargetin sama kak Ian!” Kali ini Jennifer membuka mulutnya walaupun hanya mengulang kalimat Rendy dengan nada kencang. Jantung Rendy sempat terhenti sejenak saking kagetnya mendengar suara kencang Jennifer. Rendy baru menyadari, sepertinya adalah sebuah kesalahan memberi info bahwa orang yang ada di depannya sedang di ‘target’ oleh temannya sendiri. Rendy terdiam tidak berani menatap mata kedua orang cewek yang duduk semeja dengannya itu.

“Jadi bener kak Ian sengaja nge-bully Febi?” tanya Jennifer dengan emosi.

“Aduh aku nggak tau deh!” Rendy menarik nafas panjang menyesali kalimat yang ia keluarkan itu. “Ian memang idealismenya tinggi dan dia liat Febi kayaknya orang yang cuma mikir asal lulus cepet gitu. …” jelas Rendy. “Dan dia memang gak suka cara-cara yang mau cepet-cepet gitu…tapi kata ‘nge-bully’ itu kayaknya berlebihan deh” jelasnya lagi dengan panik dan mencoba mengademkan suasana. Kemudian Febi tiba-tiba berdiri menyudahi makan malamnya dan segera berlalu dari hadapan Rendy. Melihat sahabatnya begitu terpukul, Jennifer langsung memarahi Rendy. “Bilang ke temen lu yang menjulang tinggi itu ya, Febi bukan orang yang asal-asalan! Selama ini tugas-tugas dan kuis-kuis dia nilainya perfek!” Kemudian Jennifer bergegas mengejar Febi dan meninggalkan Rendy duduk sendiri. Sekali lagi Rendy hanya bisa menghela nafas panjang menyesali kebodohannya. Febi mencoba melupakan apa yang Rendy katakan tadi dan menikmati malam itu dengan memperhatikan dan memikirkan Alwi, pria yang walaupun tidak bertubuh terlalu tinggi tapi memiliki kelembutan yang seperti sihir. Dan itu berhasil, rasa sukanya pada Alwi lebih besar daripada kejengkelannya pada Ian…atau sebenarnya memang Febi punya karakter yang malas memikirkan relasi? Bukankah dia tidak memasukkan kata sosialisasi dalam rencana kuliahnya. Keesokan harinya, Rendy mencoba meminta maaf pada Febi dan gadis polos itu langsung mengiyakan begitu saja. Yah, mungkin memang Febi orang yang malas memikirkan relasi, entah relasi yang terjalin ataupun relasi yang rusak. Baginya, manusia begitu sulit untuk dipahami. Terlalu banyak faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang. Baginya, mengobservasi suatu bidang atau benda jauh lebih mudah daripada manusia itu sendiri. Selama acara Camping Bersama, Alwi beberapa kali menebarkan pesonanya pada Febi dengan membantunya membawakan barang dan mengambilkan Febi minuman waktu acara api unggun. Walaupun mereka tidak sempat bicara banyak, acara ini berakhir dengan meninggalkan pesona-pesona Alwi dalam hati Febi.

Lihat selengkapnya