Ketika Kak Banu memilih membuangku ke Solo, aku tidak peduli. Hidup di Jakarta, di Solo, atau di mana pun, itu terserah Kak Banu. Aku hampir sama dengan sampah yang dibuang ke sana kemari tetapi tidak peduli dengan apa tujuannya. Ketidakpedulianku pun berakhir setelah aku membaca surat dari Kak Banu. Aku kabur dari rumah Mbok Sari karena ingin mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Kak Banu.
Tahun 1997, ketika kepergianku yang hanya bermodal recehan, tas yang berisi pancing dan foto Ayah dan Bunda, juga kenekatan yang sudah kupertimbangkan, justru malah dilambatkan oleh orang-orang berbadan besar itu. Mereka menangkapku, lalu memperlakukanku seolah aku yang berbadan kecil dan kerempeng iniĀ adalah lawan bertarung mereka di atas ring tinju. Wajahku dipukul oleh tangannya yang keras seperti batu. Perutku dikoyak dengan tendangan, dan aku bodoh karena kukira mereka hanya menggunakan tangan saat bertinju.
Pukulan, tendangan, makian, segalanya dilemparkan padaku. Wajahku lebam, darah merembes dari bibirku, tulang-tulangku sepertinya telah remuk. Tiga, dua, atau satu menit lagi aku bahkan tidak tahu apakah aku masih hidup atau sudah mati. Dunia yang gelap terlihat, ketika seorang perempuan tiba-tiba muncul di belakang mereka. Wajahnya seperti Bunda. Aku mungkin saja sedang berhalusinasi sebelum mati lantas melihat Ayah dan Bunda tersenyum menyambutku. Pandanganku memburam hingga kemudian tak ada lagi sepetik cahaya yang kulihat.
Wajah-wajah mereka yang mengantarkan kematian ini tetap ada dalam bayangan. Mereka adalah malaikat pencabut nyawa yang mengerikan. Bau kotoran dan suara hewan membuat indraku seolah hidup kembali. Atau memang, orang mati juga memiliki indra di kehidupan barunya. Aku tidak tahu sampai menjadi tahu setelah penglihatanku benar-benar kembali ada. Sekarang, aku berada di antara sampah yang dibuang serampangan. Tak ada bedanya saat aku hidup dan mati, selalu saja berada di antara sampah.