Pengakuan Setiap Masa

Ajis Makruf
Chapter #2

Perjalanan Menuju Solo

Nyanyian lelaki tua membuatku melotot. Semula rencanaku ingin tidur ketika pantat menyentuh kursi, lalu terbangun sampai bus ini berhenti entah di mana. Kukunya menggenjrang gitar dengan kasar seperti Kak Banu mengerok punggungku yang tipis. Suara lelaki ini tidak terlalu buruk, hanya saja dia terlalu percaya diri. Terpaksa mataku terus menyala. Menoleh sekali ke Kak Banu yang sudah mulai membaca buku. Kak Banu tidak mudah terpejam ketika sudah membaca buku. Dia juga hebat masih bisa membaca selagi pengamen ini terus menghunjamkan suara-suara pemanggil hewan. Oh, itu dia. Seekor ayam berhasil dipanggil dengan suara pengamen ini. Ayam pejantan terbang serampangan menabrak jendela bus, sekali-kali dia berlari menabrak kaki kursi, kepak sayapnya menabok pengamen. Kak Banu berdiri melepas buku lalu memperhatikan. Kernet, pemilik ayam, dan penumpang lain berusaha menangkap ayam. Aku duduk diam di samping jendela, mataku kembali terpejam setelah nyanyian lelaki tua berubah menjadi umpatan.

Ketika kebisingan mereda, akhirnya aku tahu ayam itu berhasil ditangkap. Kak Banu berucap pelan bus akan segera berangkat. Aku, Kak Banu, ayam, orang-orang lain, hewan-hewan lain di bus ini akan menuju Solo dari Jakarta. Kami berangkat malam hari. Aku belum tahu berapa lama kami akan sampai di tempat tujuan, biarlah aku menikmati perjalanan ini dengan bermimpi indah.

Ah, sial. Ternyata kepalaku mudah goyah dan terus menabrak besi jendela selagi bus melaju kencang sehingga mimpiku tidak indah. Dalam bus sudah temaram, sedikit cahaya dari lampu di langit-langit bus yang masih menyala. Kak Banu tidak lagi membaca buku. Kepalanya sudah bersandar, matanya terpejam. Tampaknya perjalanan ini akan membosankan.

Terdengar suara yang mengalihkanku. Gerakan tangan Kak Banu mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Berkat cahaya dari jalanan luar, aku bisa melihat bungkusan warna merah di tangan Kak Banu dengan jelas. “Bisa jadi teman perjalanan supaya kamu nggak bosan,” kata Kak Banu, sekalipun tidak memandangku. Satu permen karet yosan kuambil satu di dalam bungkusannya. Lumayan. Tontonan di balik jendela menjadi lebih menarik setelah aku mulai mengunyah permen karet ini.

Kak Banu membantuku, dia selalu begitu. Semenjak Ayah dan Bunda wafat, Kak Banu yang baru saja menjadi mahasiswa, cukup berhasil menggantikan peran mereka untukku. Aku bisa terus melanjutkan sekolah karena dibiayai Kak Banu. Dia mendapatkan uang dari bekerja serabutan. Akhir-akhir ini, aku tahu Kak Banu sudah sering menerjemahkan buku-buku luar, melukis, menulis. Kalau saja Kak Banu enggan bekerja keras, aku rasa aku dan Kak Banu juga akan menyusul Ayah dan Bunda karena kami tidak punya apa-apa lagi selain rumah yang diwariskan kepada kami.

Kak Banu berlagak dingin, padahal dia penyayang. Lima tahun lalu seorang guru SD bertanya kepadaku saat pengambilan rapor. “Apa hobimu, Parjo?”

Aku menjawabnya tidak ada. Lalu apa yang aku sukai, kujawab entahlah. Kak Banu yang menemaniku di sekolah terlihat sangat kecewa. Ketika sampai di rumah, tidak ada yang dibicarakan Kak Banu. Seharian dia tidak bicara denganku. Hingga besoknya dia memintaku untuk mulai menyukai membaca buku. Aku jujur dengannya aku tidak suka membaca buku—Kak Banu marah besar. Alih-alih memukulku, Kak Banu justru menyuruhku mencari ikan. Aku meminta uang kepadanya untuk membeli ikan, tetapi dia membentak. Kata Kak Banu tidak semua harus didapatkan dengan uang.

“Berpikirlah dengan kritis. Dengan begitu kamu bisa bergerak.”

Bergerak. Apa selama ini aku tidak bergerak? Apa dahulu Ayah dan Bunda tidak berhasil mengajariku berjalan sehingga aku tidak bergerak? Kenyataannya tidak begitu.

Kak Banu mendesakku mendapatkan ikan tanpa uang. Aku tidak akan mencuri, tidak juga mengemis. Tanpa sering membaca buku, anak SD sepertiku waktu itu juga bisa berpikir, sedikit kritis. Aku bersyukur dikaruniai otak yang baik oleh Tuhan sehingga aku bisa memakainya untuk menemukan ide bagus dalam mencari solusi. Di gudang ada barang-barang bekas yang bisa kujadikan alat menangkap ikan: senar kusut, kail berkarat, dan sepotong paralon. Ada juga banyak cacing hidup menyebar di dalam gundukan tanah liat depan rumah yang bisa kupakai sebagai umpan. Lekas aku pergi ke tempat yang ada ikannya, sebuah kali yang lumayan dekat dari rumah. Hingga petang aku memancing, lima ekor lele kubawa pulang hidup-hidup di dalam ember.

Kak Banu senang dan memintaku untuk memancing lagi besok. Tidak seperti membaca buku, ternyata memancing lebih cocok denganku. Hari-hari berikutnya aku memancing bukan lagi karena desakkan Kak Banu, tetapi atas dasar kesenangan. Lantas suatu waktu Kak Banu mengulang lagi pertanyaan guru SD. “Apa hobimu, Jo?”

Lihat selengkapnya