Tudung saji Mbok Sari selalu menyimpan harta karun. Segala yang tersimpan di dalamnya bisa menghilangkan rasa lapar yang semula bersembunyi selagi aku asyik memancing. Nasi, tempe goreng, dan lodeh pun masuk dengan bertahap ke dalam perutku.
Tentunya aku terlebih dahulu menegur Mbok Sari untuk menikmati makanan. Sementara Mbok Sari sedang di belakang membersihkan ikan hasil memancing. Aku memang tidak lagi menunggu ikan lele hasil memancingku selesai dimasak barulah aku makan, karena masakan Mbok Sari sejak pagi masih tersisa. Biarkan lele goreng menjadi santapan malam nanti.
Hampir setahun ini aku bertumbuh dengan baik di Solo dengan makanan buatan Mbok Sari yang tidak pernah membuatku kecewa. Tubuhku lebih berisi dibanding hidup di Jakarta bersama Kak Banu. Dan kelihatannya kulitku juga lebih putih dan bersih. Teman-teman di sekolah jarang memanggilku Parjo, melainkan si Putih Melotot. Berbeda dengan orang Indonesia keturunan Cina pada umumnya, mataku lebih melotot dibanding mata mereka—walau biasa saja jika dibanding dengan orang pribumi. Perkawinan silang antara almarhum ayah yang orang pribumi dan almarhum bundaku yang keturunan Cina berhasil menciptakan Kak Banu yang bermuka pribumi dan si Putih Melotot ini. Hanya saja semua orang yang mengenalku di Solo heran mengapa namaku tidak ada cina-cinanya sama sekali—Parjo Setiaji. Aku sendiri tidak tahu mengapa diberi nama begitu, lantas apa yang harus kujelaskan kepada mereka yang heran ini? Aku tidak ambil pusing dengan pemikiran orang lain. Memikirkan pemikiran orang lain hanya akan menambah rumit kehidupanku. Di Solo aku hanya peduli dengan Mbok Sari dan pendidikan, agar Kak Banu di jauh sana bisa bangga kepadaku.
Kak Banu sudah beberapa kali memberi kabar. Surat-surat dari Kak Banu datang dengan lancar ke tanganku, memberi kabar dia baik-baik saja. Pertukaran kabar antara aku dan Kak Banu berjalan dengan baik, sehingga aku tidak merasa jauh dengannya. Malah rasa ini jauh lebih mengenakkan daripada saat aku tinggal bersama Kak Banu di Jakarta—karena saat bersama, Kak Banu selalu pergi dan pulang kembali tanpa berkabar kepadaku.
Makananku pun sudah kandas di dalam perut. Piring dan gelas yang kotor kubawa ke basin untuk mencucinya.
“Mau dimasak apa, Mas, lelenya?” tanya Mbok Sari. Kulihat semua ikannya sudah dibersihkan di dalam baskom.
“Apa pun, Mbok. Pasti aku suka.”
“Oke, Mas.”
Ketika Mbok Sari sudah bilang oke, maka aku tidak perlu berpikir lagi ikan yang kudapat dari hasil memancing selama berjam-jam akan menjadi apa. Sudah barang tentu ikan itu akan disulap menjadi santapan nikmat oleh Mbok Sari. Rasanya aku telah dihipnotis dengan harum bumbu halus dari kunyit, bawang putih, lengkuas, sereh, dan kemiri yang dilumuri ke daging ikan lele yang gemuk. Entah di Jakarta, entah di Solo—beratus-ratus kali pun aku tetap takluk oleh nikmatnya lele goreng lengkuas buatan Mbok Sari.
Keluarga Setiaji—keluarga dari ayahku ini sudah semestinya bersyukur dan sepenuhnya bangga pernah memiliki pembantu rumah tangga yang keterampilan memasaknya di atas rata-rata orang normal. Dalam memasak, Mbok Sari sudah setingkat dewa. Aku pernah melihat dan merasakan sendiri bagaimana pisang yang hampir busuk disulap menjadi kudapan manis yang menggiurkan oleh Mbok Sari. Bolu pisang yang empuk dan beraroma harum ini sama sekali tidak membuatku sakit perut setelah memakannya beberapa kali.