Pengakuan Setiap Masa

Ajis Makruf
Chapter #4

Siaran Radio

Aku berterima kasih kepada Ahsan. Dia adalah satu-satunya teman yang berhasil membuatku terhibur selagi aku tidak memancing. Guyonannya di sela-sela kelas kosong, di jalanan sepulang sekolah, atau di mana pun, Ahsan berhasil menghiburku. Bukan hanya itu, yang Ahsan lakukan kepadaku berhasil menenggelamkan isi surat omong kosong itu ke dalam lautan lepas dari daratan ini.

“Aku berhasil, Jo,” ucap Ahsan sewaktu pulang sekolah kepadaku. Ahsan menjadi salah satu dari sekian sedikit orang di sekolah yang tidak memanggilku si Putih Melotot.

“Selamat.”

“Mengerti berhasil apa?”

Aku menggeleng. Ahsan kubiarkan terbengang. Lekas aku keluar dari kelas sembari berusaha memakai tas di punggung.

Tak traktir kowe neng warung Bu Ratih, Jo,” kata Ahsan ingin mentraktir. Lengan Ahsan yang berat menekan bahuku. Aku berjalan kian sulit, dan Ahsan mengontrol langkahku.

Warung Bu Ratih memang berada cukup jauh dari sekolah. Namun yang kami suka dari tempat ini adalah sayur-sayurnya bisa diambil seenaknya, asal dihabiskan. Saat bulan pertama kami masuk sekolah, Ahsan yang sudah lama tahu warung Bu Ratih ini mengajakku dan teman-teman lainnya datang makan di warung Bu Ratih. Kami semua puas karena makanannya enak-enak, apalagi Bu Ratih sang pemilik warung berbaik hati memberikan potongan harga kepada kami.

“Rugi Ibuk kamu, San.”

Ahsan melambai tangannya di sampingku. “Ora, Jo. Kowe wae, kok.” Ahsan memang benar, kali ini hanya aku yang dibawanya makan ke warung milik ibunya itu. Kerugian ibunya pun dapat diminimalisir. Hanya saja aku tidak enak hati dan lebih malu bila makan gratis sendirian, karena tidak ada teman lain untuk berbagi rasa malu.

Namun sampailah aku dan Ahsan di warung makan Bu Ratih. Ahsan menyalami tangan ibunya, aku pun ikut-ikutan.

“Ahsan nggowo konco, Buk. Jenenge Parjo Setiaji. Arep mangan nengkene,” kata Ahsan berterus terang kalau aku adalah temannya yang ingin makan di warung ibunya. Aku hanya bisa tersenyum sungkan.

“Cah bagus iki sing dino kuwi to, Le?” ucap Bu Ratih dengan logat jawanya. Dari kata-katanya, dia jelas masih ingat denganku ketika aku pertama kali datang ke warung ini bersama teman-teman yang lain.

Lihat selengkapnya