Seminggu ini uang yang kukumpulkan dari memancing adalah Rp 2.800. Dengan jumlah uang ini, maka tidak akan cukup untuk membeli tiket bus ke Jakarta yang harganya mencapai Rp 6.000. Pakaianku yang masih bagus kujual dengan harga murah di pasar agar menambah modal perjalanan nanti.
Hanya barang-barang penting yang akan kubawa. Foto Bunda yang menggendongku dan Ayah yang memeluk Kak Banu kusimpan dalam tas. Senar pancing yang digulung pada paralon juga ikut masuk ke tas. Bersama dengan dua barang itu, uang dan baju di badan hanyalah pelengkap.
Sebuah pesan untuk Mbok Sari kusimpan di atas meja kamar. Aku berterima kasih kepadanya karena telah mengizinkan tinggal di rumahnya dan memberi makan yang enak-enak selama hampir setahun ini. Aku juga meminta maaf karena tidak bisa berpamitan dengannya secara langsung karena sudah pasti Mbok Sari akan menahan perjalanan yang sudah kuniatkan ini. Dengan menulis surat kecil ini, aku berharap Mbok Sari tidak perlu mencemaskanku.
Sebelum subuh, aku sudah berangkat ke terminal bus. Setiap kaki ini melangkah, aku terus meyakinkan diri bahwa perjalanan ke Jakarta adalah pilihan yang benar. Walau keberadaan Kak Banu tidak pasti di mana, tetapi hanya inilah opsi yang harus kupilih. Bila Kak Banu tidak di rumah Matraman, aku hanya perlu melanjutkan langkah ke tempat lain di mana dia berada.
Di terminal bus, aku masih menunggu lama sampai bus benar-benar berangkat. Dari salat dahulu hingga masih menunggu kedatangan penumpang yang lain. Lagu-lagu slow rock yang diputar sopir menemaniku yang sudah duduk di kursi samping jendela. Pelan-pelan, bus pun mulai terisi penuh. Dari pengalaman pertama naik bus ke Solo, aku mulai membiasakan diri dengan hewan-hewan yang juga ikut menjadi penumpang di bus ini. Syukurnya yang duduk di sampingku adalah seorang laki-laki yang hanya membawa satu tas punggung dan sekantong plastik berisi rambutan.
Rasa bosan hampir tiba, tetapi untungnya bus telah siap berangkat. Kupejamkan mata dan berdoa dalam hati agar tujuanku memang benar. Bersamaan dengan ini, aku hampir saja memekik kalau tidak peduli dengan kenyamanan orang lain di sampingku. Namaku dipanggil-panggil dari luar bus. Aku mengejar sumber suara itu lantas melihat Ahsan yang sedang mengayuh sepedanya di samping bus. Tangannya melambai di udara. Wajahnya tersenyum cerah ketika fajar baru saja hadir di Kota Solo.
Kaca jendela pun sedikit kubuka agar bisa mendengar lebih jelas apa yang Ahsan katakan. “Jo, hati-hati, ya! Sampai bertemu lagi!” katanya dengan masih melambaikan tangan.
Aku mengangguk dan tersenyum tipis. Begitulah Ahsan, dia selalu menghiburku—bahkan di saat perpisahan ini. Ahsan, terima kasih sudah menjadi teman baikku di Solo. Jika nanti aku sudah bertemu dengan Kak Banu, pastinya aku ingin bertemu lagi denganmu di kota ini untuk membalas semua kebaikan yang telah kau berikan. Aku tak akan lupa dengan pemberian makanan gratis di warung Bu Ratih, milik orang tuamu itu.
Hingga wajah Ahsan sudah tidak berada di jangkauan pandanganku lagi, bus kian melaju kencang.
Perjalanan ke Jakarta akan menghabiskan banyak waktu dan tenaga untukku. 24 jam ke depan, aku hanya harus makan sekali. Uang yang kupunya sebagai bekal perjalanan tidak cukup untuk dipakai foya-foya membeli dua, tiga, atau empat nasi campur di warung makan. Paling cukup hanya sepiring nasi yang bisa kubeli.
Tiba sampai bus berhenti sejenak di Kota Tegal untuk beristirahat makan, tetapi aku hanya keluar untuk kencing lalu masuk kembali dalam bus. Kegelisahanku memikirkan Kak Banu tak terbendung, sehingga rasa lapar pun enyah. Hanya air dalam botol ini yang bisa kumanfaatkan untuk menenangkan diri. Pada saat ini aku sama sekali tidak memikirkan seseorang yang duduk di sampingku. Semenjak berangkat kami tidak saling menegur, tetapi kali ini dia menyentuh lenganku dengan jari-jarinya. Aku menoleh, lalu dia menjulurkan tangannya yang ada tiga buah rambutan di sana. “Makan rambutan, Mas.”