Suara ambulans mengiringi kesedihan kami. Bunda dan Ayah telah pergi setelah kecelakaan dengan sepeda motor. Sebuah mobil kijang menabrak sepeda motor Ayah yang tengah membonceng Bunda pulang ke rumah.
Itu pertama kalinya aku melihat Kak Banu menangis. Rasa itu terlalu pedih sehingga mata Kak Banu mengeluarkan banyak air mata. Aku tahu dan aku juga merasakannya. Rasa inilah yang satu-satunya bisa mengalahkan kuatnya Kak Banu—ketika dia ditinggalkan oleh orang yang dia cintai.
Apa waktu itu, Kak Banu juga melawan rasa yang sama ketika berpisah denganku di Solo?
***
Gelap dan sangat sunyi. Aku merasa tubuhku begitu lemas. Bau kotoran dan suara hewan membuat indraku seolah hidup kembali. Mataku perlahan kembali terbuka. Di sekitarku banyak sekali sampah-sampah yang berserakan. Pepohonan rindang, tanah merah berumput, dan bunyi kicauan burung, seketika membuat aku berpikir, apa neraka memang tidak seburuk yang kupikirkan?
“Kau akan diburu lagi.”
Siapa? Mungkin suara itu adalah suaranya malaikat yang akan segera menghukumku di neraka. Penasaran dengan suara itu, lantas aku bangun susah payah. Rasanya sakit ini begitu menyusahkan. Aku mengira orang yang sudah mati tidak lagi merasakan sakit, tetapi tidak begitu.
Tubuhku terasa lemas. Darah mengering di wajah, dan semua rasa sakit yang kudapatkan dari orang-orang itu masih terasa. Di hadapanku, bukanlah malaikat tetapi perempuan itu kembali. Dia memang mirip dengan Bunda sekalipun kulitnya sedikit lebih gelap. Dari perawakannya, kurasa aku dengannya seumuran. Wajahnya yang oval dihiasi hidung mancung, bibir yang tipis, dan kedua mata yang jernih. Sepintas, dia adalah perempuan yang manis. Di tangan perempuan itu ada dua jeriken berisi air.
“Bisa ka ko pergi sekarang?” tanya perempuan ini dengan logatnya yang tidak akrab denganku. Seperti logat orang Indonesia timur.
Pertanyaannya itu tidak kugubris. Aku masih memikirkan kehidupan apa yang sedang aku hadapi saat ini. Apakah ini masih di dunia, atau akhirat?
“Ko itu harus pergi sudah. Orang-orang itu akan kejar ko lagi.”
“Orang-orang itu? Apa aku masih hidup?”
“Iya! Dari tadi ko bernapas.” Entah kenapa perempuan ini jadi kelihatan dongkol dan terus memakai bahasa daerahnya. Padahal ucapan pertamanya tadi memakai bahasa Indonesia yang jelas. “Perkenalkan dulu. Sa punya nama Melati Wong. Ko bisa panggil sa Melati.”
“Kamu bisa berbahasa Indonesia?”