Melati bersedekap. Matanya tidak sekali pun berkedip. Dia berupaya agar terlihat jujur, sehingga aku percaya dengannya—tapi itu tidak cukup. Semua kegilaan ini sudah cukup untuk aku alami. Jika lebih banyak lagi maka akan semakin kacau isi kepalaku.
Aku tidak pernah tertawa dengan pendapat orang lain—sama sekali, tapi detik ini berbeda. Rasanya semua kegelian di dalam tubuhku sudah berada di ujung, dan kini tiba saatnya untuk meletuskannya. “Hahaha. Apa benar ini di NTT? Itu saja aku tidak percaya, bagaimana dengan masa yang berbeda? Iya, kita memang berpindah tempat melalui sumur itu, tapi apa lagi? Melintasi waktu? Sungguh?”
Melati tidak menjawab. Dia melangkah mendekat, lantas sebuah pukulan mendarat di kepalaku. “Ikut saja ke saya punya desa. Saya janji akan antar kau kembali ke Jakarta,” kata Melati.
Rasanya aku tidak perlu lagi mendengar Melati. Buat apa aku harus pergi ke desanya, sementara Kak Banu yang ingin aku temui sedang berada di Jakarta sana? Ini semua hanya akan memperlambat tujuanku.
Langkah ini terasa lebih ringan ketika aku baru tersadar tas punggung yang kubawa hilang. Aku hanya bisa menahan penyesalan dengan menggigit geraham sendiri. Tas yang berisi foto Ayah dan Bunda, juga pancingku, semua itu harta karun bagiku—tetapi kini telah hilang karena orang-orang bajingan itu. Aku memekik sial, lebih karena Melati yang mengejutkan berdiri tiba-tiba di depanku. Perempuan ini sungguh cepat. Dia jelas punya sihir.
“Kau tidak bisa pulang, Parjo. Ini masa yang berbeda dengan masa Orde Baru, di mana itu adalah masa kau berasal.”
Seolah sihir ini belum berakhir, kata-kata Melati membuat pikiranku terpelanting ke dalam samudera. Mengerikan. Maksudnya, masa ini berbeda dengan masa yang semalam baru saja kurasakan.
“Masa depan atau masa lalu? Kau terlalu banyak bermimpi.”
Melati memukul kepalaku lagi. “Kau bisa percaya dengan saya sedikit saja?” Melati mencibir, logatnya tadi begitu kental. “Kau sudah saya selamatkan dari pembunuh-pembunuh itu. Kau sudah kuizinkan lewat sumur ajaib itu, jalan jauh-jauh ke sini, tapi masih juga tidak peduli dengan semua ini. Kau manusia ka setan?”
Aku berpikir. Seharusnya aku yang memberikan pertanyaan ini kepada Melati. Seharusnya aku yang curiga kalau dia setan yang mempunyai kekuatan buruk untuk membawaku ke dimensi lain. Tapi sungguh pemikiran ini tidak akan aku keluarkan agar Melati yang sudah menolongku dari kejaran pembunuh-pembunuh itu tidak tersinggung.
“Siapa yang setan? Kau atau aku?”
“Kau.” Tiba-tiba saja aku menjawab begitu. Salahnya Melati bertanya begitu. Tentu tidak ada opsi lain selain dia, karena aku jelas adalah manusia.
Sontak Melati menarik tanganku. Dia berjalan cepat sembari menghadap kepadaku. Wajahnya yang manis kulihat dengan sangat jelas. Sebenarnya bisa saja aku menepis tangannya, tetapi otakku ini masih kebingungan dalam merespons. Melati ini satu-satunya perempuan seumuranku yang pertama kali memegang tanganku, sehingga perasaan lain yang tidak bisa kugambarkan justru timbul dengan bodohnya di saat begini.