Pengakuan Setiap Masa

Ajis Makruf
Chapter #8

Desa Raha

Aku dibawa Melati ke rumahnya selepas kami bercerita panjang lebar dengan Kepala Desa. Kecurigaan kalau aku datang dari masa lalu sama sekali tidak tampak terlihat dari air mukanya kepala desa itu. Lantas Melati pun meminta aku untuk tetap menjalankan cerita palsu ini terus berlanjut selama aku berada di Desa Raha.

Sepanjang menelusuri desa ini dengan tujuannya adalah rumah Melati, aku mengamati beberapa penduduk yang berpapasan dan juga duduk di sekitar rumah mereka. Beberapa dari mereka memakai gaya pakaian yang tidak jauh beda dengan orang-orang di masaku. Di antaranya, ada perempuan memakai kain sarung dengan kemeja kain yang memiliki corak seragam, sedangkan laki-laki memakai kaos dan celana sebiasanya. Selain itu, rumah-rumah mereka juga tidak semewah di pikiranku—sama saja dengan rumah di desa-desa Pulau Jawa pada masa aku berasal. Rumah-rumah ini temboknya ada yang terbuat dari bata, dan ada juga yang hanya terbuat dari pelepah-pelepah kayu yang entah dari pohon apa. Atapnya pun ada yang sudah menggunakan seng, ada juga yang masih dengan daun-daun yang mirip sekali dengan daun lontar menua.

Rasanya tempat ini tidak ada bedanya dengan desa-desa di masaku berasal. Nyatanya, di masaku berasal gambaran desa-desa memang selayaknya seperti Desa Raha. Jika memang saat ini adalah masa depan, maka artinya negeri ini tidak mengalami kemajuan.

“Kau tinggal sementara di rumah saya.”

Lekas aku mendahului Melati, menahannya melangkah lagi. “Aku mau kembali ke Jakarta secepatnya.”

Melati tidak menggubris. Dia menabrak tubuhku yang berdiri di hadapannya. “Tentang itu, kita bicara saja nanti kalau sudah sampai di saya punya rumah.”

Baiklah, akan kucoba untuk mengikuti Melati sampai ke rumahnya. Dan ketika sampai nanti, semua pertanyaan-pertanyaan yang telah menumpuk ini akan kucecar kepadanya.

Kurang lebih sepuluh menit, langkah-langkah kaki ini membawa kami ke rumah Melati. Rumahnya seperti rumah di Desa Raha pada umumnya, bertembok bata dengan atap seng. Bangunannya tidak terlalu besar, tetapi rumah ini memiliki halaman yang luas—di depan dan juga di bagian belakang ada tanah lapang yang terbentang cukup luas. Melati menggiringku ke belakang rumahnya. Dia menyuruhku berdiri menunggu sebentar sampai seorang perempuan tua datang menyapaku bersama Melati yang tiba kembali.

“Anak Parjo,” kata orang tua ini dengan memandangiku aneh, “tinggallah sebentar di rumah ini dulu. Susah untuk kau kembali sekarang, Anak.”

Aku mengernyit. Apanya yang susah? Aku hanya harus melangkah kembali keluar dari desa ini, mencari pelabuhan untuk pergi ke Jakarta. Apakah ini adalah masa yang berbeda dengan masaku, sehingga aku harus melintasi waktu lagi melalui sumur itu? Aku masih belum sepenuhnya percaya. Setelah mengamati desa ini sepanjang jalan ke rumah Melati, ini tidak ada bedanya dengan masaku berasal. Melati bisa saja tidak jujur dan itu bisa dibuktikan. Ketika aku pergi ke Jakarta tanpa bantuan Melati, maka aku bisa membuktikannya sendiri masa ini berbeda atau sama saja.

“Melati, sekarang bicaralah. Kamu harus menjelaskan semuanya. Aku tidak bisa berlama-lama di sini. Aku harus bertemu kakakku.”

“Apa yang ingin kau tahu dari saya?”

Lihat selengkapnya