Di dalam kamar yang sunyi ini, aku ditemani suara-suara jangkrik dan katak di luar sana. Saat ini pikiranku masih berkutat dengan pilihan yang sudah kuambil. Menunggu setahun untuk bertahan di tempat asing ini. Mampukah aku menahan permasalahan yang akan kuhadapi nanti? Ditambah lagi dengan kegelisahan kepada jawaban apa yang akan diucapkan Melati siang tadi. Aku sebetulnya belum mampu, sehingga malam ini pun aku tak dapat terlelap lebih dini seperti yang sudah kurencanakan.
Sekarang adalah tahun 2021, jauh jaraknya dengan masaku berasal adalah 24 tahun. Namun semua ini tidak ada bedanya. Kamar yang kuinapi tidak ada bohlam lampu berenergi listrik, hanya ada lampu teplok di atas meja reyot. Mana mungkin di masa sejauh ini masih ada rumah yang belum memiliki listrik? Bukan, bukan hanya satu rumah, tapi satu desa masih belum mendapatkan listrik yang konstan.
Melati bercerita kepadaku sepanjang sore hingga kami berpisah ke kamar masing-masing pada malam hari, Desa Raha adalah daerah yang sangat tertinggal. Listrik, air, kesehatan, dan pendidikan terasa begitu jauh dari genggaman warganya. Jaringan listrik memang sama sekali belum masuk ke desa ini, sehingga kantor desa dan beberapa rumah terpaksa harus memakai genset. Sumber air didapatkan dari menampung air hujan dan sumber mata air yang jauh itu. Lantas cara Melati pergi ke masa lalu dengan membawa dua jeriken itu adalah untuk terus menyuburkan mata air mereka yang sewaktu-waktu bisa saja kering di musim panas. Namun sayang sekali mata air itu sangat jauh dari Desa Raha, sehingga warganya perlu berjalan berjam-jam untuk mengambil air bersih.
“Warga juga tahu apa yang kamu lakukan?”
“Tidak banyak. Hanya saya punya mama dan Kaka Felix,”
“Siapa Kaka Felix?”
Melati tiba-tiba tertawa. “Ternyata kau banyak tanya juga e.”
Aku pun tertegun sewaktu mengingat pembahasanku bersama Melati sore tadi. Rasanya aku sudah menjadi orang yang terlalu peduli dengan hal-hal yang seharusnya tidak kupedulikan. Aku memandangi atap tanpa plafon ini sembari mengeluh kepada Kak Banu yang sudah memutuskan membuangku ke Solo. Dari situlah, kini aku telah berubah.
Ditambah lagi dengan persoalan Mbok Sari yang tampaknya sudah mengkhianati Kak Banu dan keluarga kami. Mungkin saja dia diberikan bayaran yang sangat tinggi dari entah siapa, sehingga Mbok Sari menipu bahwa Kak Banu ingin menghilangkanku dan menguasai negeri ini. Rasanya sungguh menggelikan karena aku pernah memercayai itu.
Besok, Melati akan mengajakku pergi ke desa tetangga yang telah memiliki jaringan listrik dan internet. Tujuan Melati adalah ingin memberitahukan kepadaku apa saja yang telah berubah dari Indonesia di masa ini.
“Parjo, kau kelas sepuluh, to?” Melati bertanya di saat kami berjalan kaki ke desa tetangga. Keringatku sudah bercucuran. Walau masih pagi, tetapi sinar matahari sudah sangat menyengat.
“Masih lama?” kubalas Melati dengan bertanya balik. Katanya desa tetangga, tapi rasanya sangat jauh.
“Kau kelas sepuluh?”
“Iya.”
“Saya kelas sebelas. Tapi tetap saja kau lebih tua jauh.”
“Kenapa?”
“Kau dari masa lalu. Umurmu lebih tua.”
Benar juga. Di masa ini aku bisa saja mencari tahu seperti apa diriku ketika dewasa, kalaupun aku masih hidup. Kata Melati, internet dan semacamnya di masa ini sudah berkembang pesat daripada di masa Orde Baru. Orang-orang lebih bebas berpendapat di internet, sehingga karya-karya baru di negeri ini pun semakin banyak bermunculan.
Selagi Melati bercerita dalam perjalanan, lelah ini pun berubah menjadi antusiasme. Tidak rasa, padahal baju milik ayahnya Melati yang kupakai ini sudah basah dengan keringat, kami akhirnya sudah sampai di Desa Mampir. Melati membawaku ke sebuah kantor koperasi, dan di sana ada seorang lelaki dewasa yang kiranya seumuran dengan Kak Banu.
Melati sudah bilang sewaktu di perjalanan tadi, laki-laki tinggi dengan sedikit brewok ini adalah Kak Norigius yang bekerja di koperasi Kusuma Bangsa. Aku berkenalan dan menyapa kepadanya seadanya. “Nama saya Lukas Parjo, Kaka. Saudaranya Melati.”