Setahun sudah aku terbiasa hidup lebih sederhana di masa yang dikatakan lebih modern ini. Ketika sumber air dari bak yang menampung air hujan kering, aku terpaksa mengambil air dengan berjalan kaki selama sejam lebih di Mata Air Lewa. Makanan yang kunikmati tidak datang dengan instan, tetapi aku harus ikut berkebun atau pergi memancing di tepi pantai yang sangat jauh. Membaca buku di malam hari bukan dibantu dengan cahaya bohlam, tetapi lampu lentera. Tubuhku pun berubah lebih berotot dengan kulit yang tidak lebih putih dibanding dahulu.
Membaca buku menjadi hal yang sering kulakukan selama di Desa Raha. Keinginan untuk mencari tahu sejarah dari peristiwa yang terjadi pada masa Orde Baru begitu bergelora di dalam diriku. Apalagi di masa modern begini aku bisa mendapatkan banyak sumber yang sebetulnya di Desa Raha masih sulit dijangkau. Sesekali dalam seminggu aku pergi ke desa tetangga untuk mencari-cari buku terbaru dan juga menelusuri internet. Hingga hal yang tidak ingin kuketahui pun sedikit tergambarkan dari informasi yang kubaca di internet.
Walau Melati dan Mama Mega belum pernah sekali pun menceritakan tentang keadaan Kak Banu di tahun 1998, tetapi aku masih meyakini dengan tujuan perjalananku ini. Tiba saatnya minggu depan, Melati akan mengantarku kembali ke masa Orde Baru dan di sana aku akan melanjutkan perjalananku ini yang sempat menepi sebentar.
“Ko sudah mau pulang ke Kupang, Lukas?” tanya Modestus, teman bermainku di Desa Raha ini. Umurnya sama denganku di masa ini, hanya saja dia jauh lebih besar dengan otot-otot kerasnya, hasil dari usahanya menarik-narik akar ubi sepanjang musim panen.
“Iya, Tus.” Aku senang memanggil Modestus dengan Tus, dan sejak pertama kali memanggil begitu, dia tidak pernah memprotes. “Besok sa kasih kembali ko punya buku-buku e.”
Modestus sudah putus sekolah dari SMP karena masalah biaya dan akses ke sekolahnya yang jauh, tetapi semangat belajarnya belum habis. Di rumahnya ada banyak buku-buku dengan berbagai jenis dan genre yang bisa kupinjam. Kata Modestus buku-buku ini didapatkannya dari uang yang dikumpulkan sehabis melaut dengan lampara, kapal kecil yang menangkap ikan-ikan pelagis.
Modestus menjadi salah satu orang yang membuat aku jadi lumayan suka membaca buku. Kegemarannya dalam membaca buku inilah yang membuat Modestus seolah-olah adalah orang yang berpendidikan. Wawasannya luas, maka aku pun menjadi kalah saing sehingga memilih untuk juga belajar dengan membaca buku-buku milik Modestus itu.
“Lukas, ko suka memancing to? Ko ambil sa pung pancing tu. Anggap itu kenang-kenangan dari sa.” Modestus berbicara begini selagi aku menarik ikan bawal bintang yang dengan bodohnya memakan umpanku. Saat ini aku dan Modestus berpijak pada karang di bibir pantai yang berdebur ombak-ombak sedang. Perlu berjalan kaki empat kilometer untuk kami sampai di pantai ini. “Mantap sekali teman,” puji Modestus.
“Karena ko, Tus, makanya sa jadi hebat begini.” Begitulah Modestus, anak kecil yang seharusnya berumur jauh denganku, tetapi di masa yang kulintasi ini hanya dia yang menjadi teman dekat selagi Melati pergi ke Lewoleba untuk bersekolah.
Aku akui setahun di Desa Raha ini, Modestus adalah orang yang paling dekat denganku selain ibunya Melati, Mama Mega, pemilik rumah yang aku tempati. Modestus mengajakku ikut lampara beberapa kali dalam seminggu, mencari ikan-ikan dengan tubuh yang harus bertarung dengan air asin dan sinar matahari pagi yang menyengat di NTT ini. Karena itu, kulitku kini sedikit lebih gelap dibanding setahun yang lalu.
Saat Modestus berkebun pun aku juga sering membantunya. Selama di sini, musim panen selalu aku rasakan—panen jagung, asam, kacang tanah. Jerih payahku tidak terbayarkan dengan uang yang banyak tetapi kebersamaan dengan Modestus dan warga Desa Raha ini sudah cukup untuk mengajarkanku rasa kepedulian yang berbeda dari yang selama ini aku rasakan.
Kepedulian bukan hanya kepada orang yang kita sayangi, tetapi kepada semua hal yang membuat kita bertahan hidup. Kau peduli dengan tanah, kau peduli dengan air, dan kau peduli dengan udara. Caranya hanya satu, kau harus berpikir kritis.
“Orang sudah buat aturan yang disepakati bersama, dan tidak boleh melanggar aturan itu. Orang sudah buat aturan buang sampah di bak sampah, tapi kau buang di depan rumah tetangga, itu namanya tidak kritis. Mental lemah dan akan percuma ko hidup kalau begini-begini terus.” Melati menyemprot anak-anak kecil yang membuang sampah sembarangan. Wajah-wajah anak kecil itu menunduk ketakutan, beranggapan bahwa Melati adalah setan mengerikan.
Bibir ini tiba-tiba tak bisa menahan untuk tersenyum. Aku senang melihat Melati yang begitu, peduli kepada anak-anak kecil di Desa Raha ini.