Pusaran air beberapa menit lalu membuat tubuh ini mencair. Kesadaranku pun menghilang dalam sepuluh menit yang dijelaskan Melati. Saat aku terbangun lagi, napasku sesak. Banyak air yang sudah masuk melalui lubang hidung, lubang telinga, dan mulut. Melati memukul-mukul pipiku. “Jo, bangun. Jo!”
Aku sudah bangun tanpa Melati memukul-mukul pipi ini. Melati naik lebih dulu ke atas sana dengan tali yang menjuntai dekat dengan kami. Aku menyadari kami sudah tiba di sumur ajaib pada masaku berasal.
“Jangan lupa dengan jerikennya,” kata Melati. Dia naik dengan cepat di tembok sumur ini, sementara aku begitu lambat karena hanya satu tanganku yang kupakai untuk memegang tali sementara tangan lainnya memegang dua jeriken ini.
Cahaya dari luar tiba-tiba begitu terang setelah penutup sumur di atas sana terbuka. Aku berhenti, mewaspadai ada orang luar yang tahu perjalanan gila ini. “Tidak usah takut, Jo. Itu Kaka Felix.” Aku termenung, mengingat nama yang baru disebutkan Melati ini. “Ayo, Jo.”
Akhirnya kaki pun menginjak tanah lagi setelah melewati perjalanan jauh dan melelahkan. Aku masih terengah-engah, tetapi Melati sudah menyuruh untuk berjalan lagi. Sebentar, aku masih butuh istirahat untuk memulihkan tenaga. Aku tidak habis pikir dengan Melati, bagaimana tenaganya begitu banyak padahal sudah tenggelam lama di dalam air. Dia adalah tokoh super hero yang kubaca di buku milik Modestus.
Dudukku selonjor sembari menyandar di bibir sumur. “Mana Kaka Felix itu?”
“Sudah menghilang. Kau tidak boleh bertemu dengan Kaka Felix..”
“Kenapa?”
“Kaka Felix itu orang dari Desa Raha, datang dari saya punya masa berasal. Dia yang menemukan sumur ajaib ini.”
“Apa hubungannya?”
“Sejak menemukan sumur ini, dia bersumpah pada dirinya sendiri untuk menjaga sumur di masa ini, Jo. Artinya dia tidak boleh kembali lagi ke desanya atau masa dia berasal. Orang-orang di masa ini pun tidak boleh tahu keberadaannya.” Melati berdiri di depanku, dan wajah ini menengadah melihatnya yang menatapku serius. “Dan kau tidak boleh beritahu siapa-siapa di masa ini. Siapa pun, termasuk kau punya kaka.”
Aku mengerti. Terserah Melati dan Kaka Felix itu mau apa dengan sumur ini selagi tidak merugikanku dalam tujuan menemui Kak Banu. Aku berdiri ketika Melati melangkah menjauhiku. “Melati, terima kasih sudah mengantarku kembali ke Jakarta. Sekarang tujuanku dan tujuanmu berbeda, kita sudah seharusnya berpisah di sini.”
“Apa kau bilang? Bantu saya ambil air di Bundaran HI dulu.”
“Kau bisa ambil sendiri.” Aku pergi, tidak menghiraukan ucapan-ucapan Melati yang terus berlanjut.
“Parjo!” Melati berteriak, tetapi aku terus melangkah pergi. “Batas waktu saya kembali ke saya punya masa berasal adalah hari di mana terjadinya kerusuhan besar itu. Sebelas hari dari sekarang. Semoga kau bisa bertemu dengan Kaka Banu. Dan berjanjilah untuk bertemu dengan saya lagi sebelum kita benar-benar berpisah.”
Aku berbalik dan melihat Melati lagi. “Iya,” kataku sembari mengangguk. Jika memang aku bisa bertemu dengan Kak Banu lagi, hari di mana Melati akan pergi kembali ke desanya dan masa di mana dia berasal akan menjadi perpisahan yang akan kulaksanakan dan kuingat sepanjang masa.