Sebuah angkot berhenti di halte ini. Dari pintunya, keluar Melati yang mulutnya tersenyum lebar. Aku tertegun. Kehadirannya begitu tiba-tiba. Rasanya aku ingin berlari agar menjauh darinya. Bersama dengan Melati membuatku akan mendapatkan masalah, karena dia datang dari masa yang berbeda.
Namun kini Melati sudah berdiri di sampingku. Tangannya menepuk bahu ini. “Jo, saya ikut cari kau punya kakak.”
Aku menoleh kepadanya. “Kenapa?”
“Kenapa?” Melati menarik masker dari telingaku dengan cepat, lantas menaruhnya ke saku jaketku. “Saya mau bantu kau, tapi kau tanya kenapa lagi?”
“Seharusnya kamu sudah tahu nasib Kak Banu. Aku nggak mau informasi yang kamu tahu dari masa depan mengganggu keyakinanku.” Melati pun bergeming. Aku membiarkannya terus begitu, lantas pergi meninggalkannya.
“Saya tidak benar-benar tahu, Jo.” Melati mengejarku. Dia berjalan di sampingku sembari mulutnya berkomat-kamit. “Kita tidak tahu kalau perjalananmu ke masa depan bisa mengubah nasib kau punya kakak. Kau tahu tidak?” Aku menggeleng. “Kepergianmu dari Solo sudah diketahui Prambanu Setiaji.”
Langkahku terhenti. Melati kini menjadi perhatianku. Kubiarkan dia terus menjelaskan cerita yang menggantung ini. Namun nyatanya Melati hanya diam, membuatku bertanya, “Lalu?”
“Orang-orang yang mengejarmu itu bisa memakaimu agar Prambanu keluar dari persembunyiannya.” Melati geleng-geleng, air mukanya menunjukkan keheranan. “Kalau kau punya kakak tahu tentang kabarmu jatuh dari sumur, pikiran dia pasti berubah. Mengurusi Bimantara atau pergi mencari tahu tentang keadaan adiknya.”
“Bagaimana dia bisa tahu? Bagaimana orang-orang itu memberitahukan ke Kak Banu?”
“Itu yang saya bilang tadi, Jo, saya tidak tahu pasti.” Melati tersenyum. “Sama saja, selama ini kau juga selalu bergerak karena hal-hal yang baru berdasarkan keyakinanmu yang tidak berdasar itu. Bisa jadi mereka sudah memberitahukan ke pihak Bimantara kalau kau, adiknya Prambanu Setiaji, jatuh ke bawah sumur atau justru sudah berada di tangan mereka. Ini jelas akan mengubah tujuan kau punya kakak, Jo. Mencari tahu keadaanmu atau memilih terus mengurusi Bimantara.”
Aku termenung, tetapi masih belum percaya dengan pengakuan Melati ini. “Lantas kenapa mereka nggak menunggu kita di sumur itu?” Sebetulnya hal ini sangat mencemaskan bagiku sebelum kami memulai perjalanan ke masa ini, tetapi saat tiba di sumur itu dan tidak ada orang-orang bersebo yang menjaga di sekitar sumur, maka aku pun jadi tidak peduli.
“Itu tugas Kaka Felix,” jawab Melati. “Dia menjaga sumur ajaib itu supaya tidak diketahui oleh orang-orang di masa ini.”
Entah omong kosong apa yang dikatakan Melati. “Orang-orang yang mengejarku melihat sumur itu, Melati. Mereka jelas sudah tahu di mana sumur itu, tapi mana aku peduli. Seenggaknya aku sudah berada di masa yang sama dengan kakakku.”
Begitu ringannya, Melati tiba-tiba menampar mulutku dengan cepat. “Segala macam keajaiban ini sudah berhasil bawa kau ke sini, terus kau tidak mau percaya dengan satu keajaiban lainnya? Ini semua memang tidak masuk akal, tapi kau sudah menjalaninya. Kaka Felix menyembunyikan sumur itu selama satu tahun.”
Aku bergeming. Berdebat dengan Melati selalu berakhir dengan kekalahan. Aku tidak menerimanya untuk kebaikanku dan kebaikannya juga, tapi dia selalu memaksakan seperti ini. Alih-alih terus menolaknya, sebaiknya aku berharap saja Melati bisa benar-benar membantuku tanpa ada hal buruk yang akan merugikan kami berdua.
“Kau sudah jadi buronan seperti kakakmu oleh orang-orang bersebo itu. Akibat dari membela Prambanu Setiaji yang menentang kediktatoran,” Melati terus berbicara sembari dia melangkah bersamaku. “Tapi jika kau tidak membela, mungkin tetap saja tidak ada yang berbeda.”