Pengakuan Setiap Masa

Ajis Makruf
Chapter #14

Markas Sipil

Gentong menatapku dengan serius. Lubang hidungnya yang besar tampak kembang-kempis. Aku mengulang pertanyaan tadi, tetapi dia masih diam dan yang kulihat dari Gentong tetap sama.

“Bersihkan badanmu.” Gentong menepis tanganku yang menahan pintu ini, lalu membantingnya kuat.

Lama waktu yang kubutuhkan untuk membersihkan cat yang sudah mengering dan lengket di badan. Sikat pakaian ini memang sedikit membantu, walau rasanya sakit dan geli sekali ketika sabuknya kugosok ke wajah. Di luar sana Gentong masih menungguku dengan bersiul-siul kayak beo, dia juga bersenandung sepenggal, dua penggal, lalu tiga penggal lagu dengan suaranya yang jelek seperti teriakan monyet.

Tiba-tiba suara jelek itu menyuruhku lekas keluar dari kamar mandi. “Hey, cepat!” Dia bodoh, cat ini susah untuk dibersihkan, mana mungkin aku bisa cepat keluar dari kamar mandi. Aku keluar ketika teriakan kelima dari Gentong semakin menjengkelkan, sementara itu cat ini sendiri masih belum benar-benar bersih dari tubuhku. Kuku kaki dan kuku tangan masih membekas warna hitam cat yang sudah mirip kuteks.

“Wajahmu masih ada catnya. Tapi begini sudah lebih baik.” Gentong membawaku masuk ke dalam gedung. Kami melewati lorong-lorong yang sepi dari orang atau suara apa pun. Rasanya tempat ini adalah markas para kawanan Gentong yang dimiliki negara. Kami tiba di dalam gedung lalu aku dibawa masuk ke dalam ruangan. Seorang laki-laki tua berbaju sipil duduk di kursinya, memandangiku dengan tajam.

“Duduk di lantai!” perintah Gentong, dia mendorongku kuat.

“Kenapa kau menentang pemerintah?” tanya laki-laki tua berkacamata ini.

“Saya tidak menentang pemerintah.”

“Siapa pemimpinmu?”

“Tidak ada.”

“Siapa yang menyuruhmu?”

“Tidak ada.”

Laki-laki tua berkacamata ini terlihat kesal dengan semua jawabanku. Dia mendengkus marah. “Siapa yang membayarmu melakukan ini?”

“Tidak ada.”

“Siapa perempuan yang bersamamu di Bundaran HI?”

“Teman.”

“Siapa dia?!”

Lihat selengkapnya