Pengakuan Setiap Masa

Ajis Makruf
Chapter #15

Sumber Air Sudah Jauh

Setelah semua yang sudah dia lakukan kepadaku, Kak Banu justru tersenyum lebar. Setelah dia membuangku, menghilang dariku, sembunyi di belahan bumi lain, sekarang dia datang dengan muka tak bersalah.

Aku tersenyum kecut padanya.

“Masuk, Jo.”

Bersamaan dengan laki-laki berkacamata yang masuk duduk di kursi kemudi, aku duduk di belakang bersama Kak Banu. Aku melihat perubahan yang terjadi pada Kak Banu. Kulit wajahnya menipis, tulang pipinya jelas terlihat ketika dia tersenyum lebar kepadaku. Kak Banu sudah sangat kerempeng. Rambutnya yang panjang sudah tidak terurus lagi.

Kak Banu berdeham. “Maafkan, Kakak.”

“Kenapa Kak Banu memindahkanku ke Solo?”

“Aku kakakmu. Yang mengurusmu di sini, setelah Bunda dan Ayah sudah nggak ada.”

Aku diam. Alasan Kak Banu hanya begitu. Tidak pelik, tapi tidak menjelaskan. Sepanjang perjalanan itu, seisi mobil ini hanya diam. Teman dari Kak Banu mengemudikan mobilnya ke daerah yang sepi. Sampai di sebuah rumah putih, di mana terdapat banyak pepohonan besar tumbuh di sekitarnya.

Halaman depan rumah ini jalannya bebatuan. Banyak batu tajam. Aku pun jalan dengan bersejingkat, tanpa alas kaki karena sandalku sudah hilang sejak aku dibawa ke markas Gentong dan kawanannya. Di halaman ini juga berantakan. Banyak dedaunan layu yang tidak pernah disapu. Ada buah sukun dan jambu air yang dibiarkan bergeletakkan di tanah. Rasanya penghuni di rumah ini punya kelakuan yang pemalas. Berbeda dengan Melati.

Aku diantar laki-laki berkacamata ini ke kamar mandi. Niatnya ingin mandi tetapi air di bak hanya tinggal sejengkal. Banyak uget-uget yang berenang bebas di bawah sana. Sungguh betapa malasnya penghuni rumah ini. Hanya dua gayung air yang kuambil, cepat saja untuk mencuci kaki dan tangan.

Kembali ke ruang tengah, di sana sudah ada Kak Banu yang sedang beberes dengan isi tasnya. “Ada nasi goreng di dapur.”

Perutku memang belum terisi dari pagi karena sebungkus nasi di sel tahanan tadi tidak kumakan. Namun aku tidak lapar. Saat ini mengisi kepalaku dengan bertanya ke Kak Banu lebih penting daripada segalanya.

“Mbok Sari mengkhianati Kak Banu. Dia mengkhianati kita.”

“Memang begitu, Jo. Pengkhianat selalu datang dari orang terdekat.”

Seorang perempuan seumuran Kak Banu datang ke ruangan ini. Dia menaruh sepiring nasi goreng ke atas meja. “Dimakan, ya,” katanya.

“Jo, ini Neiska,” ucap Kak Banu. “Teman kakak. Yang tadi jemput kamu di tahanan itu kakaknya Neiska, Mas Dimas.”

“Neiska.” Perempuan ini menjulurkan tangannya padaku. Aku melihatnya sebentar, membiarkan tangannya menggantung di atas sepiring nasi goreng. “Mau disuapin?”

Aku menggeleng sembari tersenyum. Piring ini kutarik hampir ke ujung meja, lantas sesendok nasi goreng langsung kutandaskan ke dalam perut.

“Enak?”

Karenanya aku tersedak. Pertanyaan Kak Neiska sedikit mengagetkan, karena sebetulnya nasi goreng ini terasa hambar. Jauh sekali dengan masakannya Mbok Sari atau makanan di warung ibunya Ahsan. Aku belum menjawabnya, tetapi Kak Neiska sudah membawakan untukku air minum di cangkir kecil ini. “Maaf, ya, airnya tinggal sedikit.”

“Bersyukur ada air, Jo. Itu air minum terakhir di rumah ini.”

Aku memaksa tersenyum. Hal ini sudah bisa kuduga karena sifat malas penghuni-penghuni di rumah ini. Air di cangkir ini pun kuminum sedikit saja. Beberapa menit kemudian, piring yang sudah licin ini kuangkat dan akan membawanya ke basin untuk dicuci.

“Biar saja di situ. Airnya habis,” kata Kak Neiska.

“Air? Air minum?”

“Ya, air, Jo,” sambut Kak Banu. Dia beringsut duduk di depanku dan di samping Kak Neiska. “Kamu tahu, kan, air di Jakarta akhir-akhir ini susah? Jakarta lagi dilanda kekeringan air.”

Aku mengerutkan dahi. Ini tidak mungkin. Mana mungkin Jakarta yang melimpah sumber air mengalami kekeringan air. Aku sudah beberapa hari tinggal di Jakarta pada masa ini setelah kembali dari masa reformasi, di Utan Kayu dan di markas Gentong dan kawanannya itu air masih sangat melimpah.

“Istirahat dulu.” Kak Banu menepuk bahuku. “Besok kita pergi ke Pontianak.”

“Untuk apa ke sana?”

“Aku ke belakang dulu, ya,” sahut Kak Neiska. “Jo, kalau mau istirahat kamarnya di belakang kamu. Sudah Kak Neiska rapiin.”

Aku menoleh ke belakang, ada sebuah kamar yang pintunya tertutup rapat. “Makasih, Kak.” Setelah itu pandanganku kembali tertuju ke Kak Banu. “Untuk apa ke Pontianak?”

“Ketemu keluarga Bunda. Kita akan tinggal di sana.”

“Kita atau aku sendiri?”

“Kakak akan menemanimu sementara di sana. Kak Banu nggak bisa menetap di satu tempat, Jo, karena status buronan dari pemerintah.”

“Beberapa hari lagi akan ada puncak dari usaha yang sudah kalian lakukan selama ini, Kak.”

“Maksudmu?”

“Aku tahu semuanya. Sejarah yang akan terjadi di bulan ini. Alasannya karena aku sudah pergi ke masa depan.”

Lihat selengkapnya