Melati tertawa kencang. Dia memukul lenganku tiba-tiba. “Bercanda, Jo.”
Aku menahan lengan Melati, membuatnya untuk tidak berpaling dariku. Aku yakin Melati tidak bercanda. Tentang kekeringan air yang terjadi di Jakarta saat ini sudah pasti ada penyebabnya. Aneh memang jika aku meyakini Melati yang menjadi penyebabnya, tetapi karena sudah melalui segala keajaiban bersamanya maka ini semua menjadi mungkin. “Dua jeriken air yang dilipatgandakan dalam perjalananmu ke masa depan datang dari air di masa ini. Kamu membawa air dari Jakarta pada masa ini untuk kesuburan Mata Air Lewa. Kamu sudah melakukan ini sejak kapan? Sudah bertahun-tahun? Ini yang menyebabkan Jakarta mengalami kesulitan air bersih, Melati?”
Melati hanya diam. Kedua matanya menatapku lekat-lekat. Aku tak bisa lagi berucap apa-apa kepada Melati. Dia yang harus berbicara menjelaskan semua ini, tetapi Melati bungkam. Kaka Felix pun tidak berpengaruh apa-apa, dia diam dan terus melajukan mobil hingga sampai di pertokoan mobilnya ini menepi.
Kami turun dari mobil. Kaka Felix masuk ke dalam salah satu toko, sementara aku dan Melati menunggunya di luar.
“Orang yang mengejarku tadi tahu Desa Raha,” kataku pada Melati yang berdiri diam menyandar bak pikap. Dia tidak menolehku sama sekali. “Kenapa dia bisa tahu?”
Melati mendengkus. Pundaknya menjauh dari bak pikap itu, berdiri dengan lebih tegak. “Saya tidak tahu pasti, Jo. Kemungkinan orang itu sudah bekerja sama dengan Mbok Sari, orang dari Desa Raha di masa depan.”
Aku tercekat. Kebohongan apa lagi yang sedang Melati katakan ini?
“Kesulitan air di kami punya desa, membuat seorang pendatang di desa kami merasa iri dengan orang-orang di Ibu Kota. Dia itu Mbok Sari yang kau kenal. Orang itu diam-diam ikut Kaka Felix datang ke masa ini pakai sumur ajaib. Selama 20 tahun dia di sini untuk menghakimi orang-orang yang terlalu boros pakai air bersih.”
Aku diam. Ini tidak mungkin. Mbok Sari sudah lama bekerja di keluarga kami bahkan sebelum aku lahir.
“Mbok Sari sengaja bekerja sama dengan beberapa petinggi negara untuk melakukan rencananya. Tapi karena itu, dia jadi tidak mampu menghakimi para petinggi. Mbok Sari hanya bisa melenyapkan rakyat biasa yang masih boros pakai air bersih. Contohnya kau punya ayah, Jo.”
“Ayahku? Maksudmu?”
“Kau punya ayah punya usaha cuci pakaian. Usaha itu tidak punya pengendalian air bersih yang baik, jadi terlalu banyak air bersih yang terbuang. Mbok Sari yang bekerja dengan kau punya keluarga merasa iri dengan itu. Dia sangat membenci kau punya ayah.”
Aku tersenyum getir. “Kamu terlalu banyak bercanda, Melati.”
“Kau punya orang tua mati karena dibunuh mereka.”
Aku tercekat. Mulutku tidak bisa berbicara apa-apa. Informasi ini terlalu jauh dari logika yang bisa aku terima. Kedatangan Kaka Felix pun semakin menambah mulutku enggan menyanggahi Melati.
“Sebelum kau dan kau punya kakak pergi dari Jakarta, sebaiknya minta maaflah ke Mbok Sari, Jo,” kata Melati.
Aku tertawa. “Minta maaf? Minta maaf ke orang yang membunuh orang tuaku? Apakah itu adil?”
“Kalau kau berpikir segalanya punya keadilan, maka dunia ini akan terus diisi dengan peperangan,” kata Melati.