Sepulang dari Utan Kayu, aku lekas menemui Kak Banu. Di ruang tengah, Kak Neiska memberitahuku kalau Kak Banu sedang di dalam kamar.
Baru saja ingin mengetuk pintu kamar ini, Kak Banu sudah membukanya lantas menampakkan dirinya dengan tiba-tiba. “Ada apa?”
“Aku mau bicara sama Kak Banu.”
“Iya, dengan saya sendiri.”
Aku mendengkus. “Serius, Kak.”
“Ya, masuk,” Kak Banu melangkah ke dalam kamarnya, membiarkan pintu ini terbuka untukku, “tutup pintu,” suruhnya. Kak Banu pergi duduk di kursi, berhadapan dengan meja di mana terdapat beberapa buku yang menumpuk di sana.
“Besok kita harus ke Solo menemui Mbok Sari, Kak.”
“Besok kita ke Pontianak.”
“Ayah sama Bunda mati karena Mbok Sari.” Dengan gerak cepat, Kak Banu membalikkan badannya, tatapannya tertuju kepadaku. Tidak ada sepatah kata yang terlontar darinya, sebelum aku berucap lagi. “Kak Banu pasti tahu Ayah pernah punya usaha laundry.”
“Kamu bicara apa, Jo? Ayah sama Bunda mati karena tertabrak mobil. Kenapa disangkut pautkan dengan Mbok Sari?”
“Usaha Ayah nggak punya manajemen pemakaian air yang baik.”
Kak Banu tertawa. “Lalu?”
“Itu sebabnya Mbok Sari dari desa di masa depan yang masih kesulitan air membenci Ayah.”
Beranjak dari kursinya, Kak Banu berjalan mendekatiku yang berdiri di depan pintu kamar ini. “Itu sebabnya Kaka menyuruhmu membaca buku. Sukailah membaca karena banyak pengetahuan yang bisa kamu dapatkan. Imajinasimu sudah kelewatan batas.” Tangan Kak Banu menekan kepalaku, lalu tubuhnya dicondongkan mendekat. “Kalau kamu memang jatuh ke sumur, jangan-jangan kepalamu sudah terbentur sesuatu.”