Bukan hanya Kak Banu, tetapi Kak Dean dan Kak Beni juga ditangkap. Mas Dimas memaki-maki kesetanan karena ini. Dia baru saja pulang bekerja selepas aku dan Kak Neiska salat subuh. Aku tidak mengerti kenapa Mas Dimas juga berekspresi sama sepertiku, tepat setelah tahu Kak Banu ditangkap. Kupikir Mas Dimas hanyalah kakak dari Kak Neiska yang punya hubungan dekat dengan Kak Banu.
Jauh dari apa yang kupikirkan sebelumnya, mungkin saja Mas Dimas juga adalah mantan aktivis mahasiswa yang kini sudah berhenti karena pekerjaannya. Aku melihat kartu nama yang masih menggantung di depan dadanya, nyatanya Mas Dimas adalah perawat di salah satu rumah sakit negeri.
Setelah Mas Dimas duduk di sofa ruang tamu, keheningan pun menyusupi kami. Akhirnya aku mengucapkan terima kasih kepada Kak Neiska dan Mas Dimas untuk kebaikan mereka membantu aku dan Kak Banu, juga meminta maaf karena penangkapan Kak Banu di rumah ini akan berdampak kepada Mas Dimas yang bekerja di rumah sakit negeri.
Aku hendak keluar dari rumah ini, tetapi Kak Neiska menahanku sebentar untuk pergi. Dia memberiku tas milik Kak Banu, juga sebuah surat. “Tolong berikan ini ke dia, ya, Jo.” Pandanganku tertuju ke surat itu, lalu beralih ke wajah Kak Neiska. Matanya berkaca-kaca. Wajahnya tidak kulihat lagi setelah Kak Neiska memelukku. Aku sungguh tidak tahu apa surat dari Kak Neiska ini dapat kuberikan ke Kak Banu atau tidak.
Entahlah. Rasanya keyakinan untuk kembali bertemu dengan Kak Banu tidak sekuat dahulu. Setelah pelukan Kak Neiska lepas, tidak ada kata-kata lagi yang aku ucapkan sebelum benar-benar pergi menjauh dari Mas Dimas dan Kak Neiska.
Tujuanku adalah Terminal Pulo Gadung. Rasanya tidak peduli lagi aku harus pergi ke sana dengan hanya berjalan kaki. Jelas aku akan terlambat, membuat Melati dan Kaka Felix menunggu lama di sana. Biarlah. Mereka akan mengerti ketika nanti kuceritakan tentang Kak Banu yang sudah ditangkap.
Rasa cemas dan penyesalan telah menguasai ragaku. Tidak ada rasa lelah sedikit pun berjalan kaki ke Pulo Gadung yang hanya berjarak lima kilometer ini. Jalan beraspal ini terasa empuk di atas alas kakiku. Aku sudah terbiasa berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer, melewati jalanan yang jauh lebih buruk dari aspal ini. Tas punggung milik Kak Banu juga tidak seberat jeriken air bersih yang pernah kubawa.
Tiba di terminal, Melati dan Kaka Felix sudah menungguku persis di depan ruang tunggu penumpang. Mereka tidak membawa tas, hanya dua jeriken air yang masing-masing memegangnya satu. Walaupun aku sudah melihatnya, Melati berteriak memanggil namaku seolah-olah dirinya dan Kaka Felix belum kutemukan. “Jo, di sini!” katanya mengakhiri teriakan-teriakan itu.
Aku sampai di hadapan mereka tanpa berkata apa-apa. Kaka Felix terlebih dulu menyapaku, lalu diikuti Melati yang menanyakan kehadiran Kak Banu. “Di mana kau punya kakak?”
“Kita bisa ke Solo hari ini bertiga saja. Selesaikan masalah ini. Aku mau Jakarta nggak kekeringan air lagi.”
Kaka Felix mengedarkan pandangannya sebelum berucap kepadaku, “Kakakmu tidak mau ikut atau apa, Jo?”
“Kak Banu ditangkap.”
Kemudian Kaka Felix langsung menepuk bahuku. Melati beringsut mendekat, dia memelukku dengan penuh simpati.
“Melati, kamu tahu bagaimana nasib Kak Banu setelah kerusuhan Mei,” kataku lirih. “Apa aku bisa bertemu dengannya lagi?” Pertanyaan ini kukeluarkan begitu mudahnya tanpa berpikir lagi. Aku tidak butuh berperang dengan praduga-praduga yang selalu menentang keyakinanku ini. Di titik ini, aku ingin kepastian.
“Prambanu Setiaji-“