Pagi, di Rumah Awal
Rumah sederhana, tidak ada ruang tamu. Hanya ada karpet yang digelar di tengah-tengah ruangan. Di dalamnya terdapat dua kamar terpisah. Kamar Awal dan kamar ayah-ibunya. Sedangkan pintu yang satunya adalah kamar mandi sekaligus toilet. Pada pagi hari ini, dari balik pintu yang sedang tertutup rapat tersebut terdengar bunyi orang yang sedang mandi.
Beralih dari pintu itu terdapat sebuah jam dinding buluk yang menunjukkan pukul 07.00 pagi. Di bawahnya ada kalender pembagian partai yang sudah dilingkari dengan spidol merah sejak tanggal 11 April sampai tanggal 17 Mei. Seorang laki-laki dengan handuk menggantung di lehernya mendekati kalender itu kemudian melingkari tanggal 18 Mei 2020, hari Senin. Permulaan ini, kita hanya bisa melihat tangan dan punggungnya. Tetapi, bisa diterka bahwa laki-laki itu masih muda.
Pagi, Pelatar Rumah Awal
Dari depan rumah tidak terlihat ada halaman. Karena aspal jalan di gang yang cukup sempit sudah hampir berdempetan dengan rumah Awal. Di sudut kanan, tepat di depan dinding rumah ada meja besar berlapis tikar plastik serta bangku panjang yang terlihat dibuat sendiri. Beberapa rantang besar dan tempat nasi berdiri rapi di atas meja. Ibu Awal sedang menjual nasi kuning kepada beberapa tetangganya.
Awal keluar dengan baju kaos kerah oranye kebanggaannya serta celana olahraga juga headset di telinganya. Kali ini kita bisa melihat dengan jelas sosok laki-laki bernama Awal itu. Wajahnya yang putih dan badannya yang cukup tinggi membuatnya masih masuk kategori cukup tampan. Pagi itu tanpa menyapa Ibu, dia langsung berjalan ke arah kiri jalan dengan lari-lari kecil. Ibu Awal melirik ke arah Awal. “Wal, ga sarapan dulu?” Ibu berteriak ketika menyadari Awal sudah berlari agak jauh dari hadapannya.
Awal mendengar teriakan Ibunya, lalu melepas sebelah headset-nya sambil mengurangi volume musik. “Nanti aja, Bu. Pas pulang,” sahut Awal seadanya. Awal kembali memasang headset-nya dan mengeraskan suaranya hingga tidak terdengar apa pun lagi, hanya lagu kesukaannya.
Ibu Siti, seorang tetangga Awal yang sedang membeli pada Ibu Awal tiba-tiba bertanya kepada Ibu Awal. “Awal sekarang bantu menyapu di siring ya, Cil? Soalnya sudah hampir sebulan saya lihat setiap pagi dia ke sana terus? Kadang duduk-duduk sendirian atau ngobrol bareng orang-orang yang menyapu di sana.”
Menaggapi itu, Ibu cuma diam dan menundukkan pandangannya ke arah nasi yang sedang ia bungkus. Raut wajahnya berubah agak sedih sekaligus tersinggung.
“Cil, sudah! Maaf sudah cukup, Cil!” Ibu Siti berteriak.
“Saya gakpapa kok, Cil. Ga dimasukkin ke hati, tenang aja.” Tanpa sadar Ibu sudah memasukkan lebih dari tiga sendok lombok pada nasi itu.
“Ya cukup, Cil. Kebanyakan itu lomboknya!” sahut Ibu Siti lagi.
Ibu terkejut, seperti baru tersadar dari lamunannya dan kemudian refleks membungkus nasi yang penuh lombok tadi. “Maaf ya, Cil. Biar saya bungkuskan yang baru lagi aja gimana?” ucap Ibu karena merasa bersalah.
“Ga usah, Cil. Biarin aja, nih uangnya!” Ibu Siti bergegas pulang sambil membawa nasi yang dibelinya, tentu aja dengan wajah yang kesal.
Ada pun Awal, ia terus berjalan menyusuri gang menuju jalan raya. Ketika Awal hampir sampai di ujung gang, terlihat seseorang berpakain rapi dengan kemeja, celana kain serta jasnya, tetapi yang cukup aneh orang itu hanya menggunakan sandal jepit. Wajah Awal tampak tidak terlalu senang melihat orang itu dan berusaha menghindarinya secepatnya.
Pagi, di Siring
Saat itu, siring[1] yang adalah tempat wisata tampak cukup sunyi, mengingat hari itu adalah hari Senin. Awal hanya duduk sendirian di depan pagar siring yang membatasi dirinya dengan sungai. Dari belakang punggung Awal, kita bisa melihat tulisan “Karantina Pemuda Berprestasi, Kementerian 2017” tertulis jelas di baju oranyenya itu. Saat Awal sedang mencoba menikmati pemandangan dalam kesunyian, seorang petugas kebersihan siring mendekatinya.
“Astaga jadi di sini. Kerja dong, Mang!” bentak Bapak petugas kebersihan itu tanpa melihat wajah Awal.
Awal kaget dan langsung merespon bentakan bapak petugas kebersihan tadi, “Apaan sih, Pak?” Awal berdiri menengok bapak itu.
“Astaga maaf, Mang. Saya kira teman saya,” sahut Bapak tadi.
“Kok mang sih, Pak? Kan tuaan Bapak? Lagi pula Bapak ga lihat nih tulisan di baju gede begini? Ini baju dari Kementerian loh, Pak!” sahut Awal membanggakan pencapaiannya.
“Saya ga bisa baca, Om. Kalau bisa, saya sudah jadi presiden, Om!” Penyapu siring itu pergi sambil ngedumel, “Kalau baju dia dari Menteri, baju saya juga dari Kepala Dinas. Sama aja kan dari pemerintahan juga?” Ia kembali menengok ke arah Awal kemudian berpikir, “Apa mungkin dia penyapu yang dikirim dari pusat buat ngelatih kami dengan standardisasi baru ya? Ah, bakal tambah capek nih, nasib.”
Awal hanya melihat penyapu itu pergi sambil geleng-geleng, tetapi Awal tidak bisa mendengar apa kata penyapu siring itu. Kejadian singkat itu mengusik pikirannya. Wajah Awal terlihat murung, dia kemudian membuka handphone-nya. Pada wallpaper handphone itu terlihat foto empat orang dalam sebuah wisuda. Awal seperti teringat beberapa hal. Matanya kemudian tajam memandang ke depan. Dari sudut pandang Awal terlihat beberapa gedung-gedung tinggi menjulang. Sesekali perahu klotok[2] lewat memecah sunyi.
Flashback On...
Pagi di Dalam Gedung Kelulusan
Suasana kelulusan tahun 2018 hampir 2 tahun lalu ratusan mahasiswa duduk rapi dengan toga. Di panggung, beberapa Senat dan Rektor siap mengukuhkan mahasiswanya. Pada layar tertulis tanggal kelulusan, 08 Agustus 2018 angkatan 85.
Di depan podium terlihat seorang Rektor sedang berdiri mengisi ceramah kelulusan. Kemudian di akhir ceramahnya Rektor itu memanggil Awal dengan bangga. ”Baik, saya akan panggilkan seorang mahasiswa berprestasi selama di kampus, baik di jenjang nasional maupun international, yang kali ini juga berhasil meraih predikat lulusan terbaik dengan waktu tempuh 3,5 tahun. Semoga dari ananda ini kita bisa banyak belajar dan kemudian bisa menambah semangat untuk terus berprestasi. Bersama-sama kita sambut ananda Muhammad Syawal putra dari Bapak Ahmad Ramadhan dan Ibu Siti Rabiul.”
Tepuk tangan ratusan mahasiswa bergemuruh ketika itu. Tepat di sebelah kiri panggung ada Awal yang duduk di kursi khusus dengan mengenakan pakain toga lengkap. Di sebelah kanan Awal ada ayahnya yang sedang duduk tenang menikmati kebanggan hari itu, sementara di sebelah kirinya ada ibunya. Saat namanya dipanggil Ibu justru refleks maju ke depan mengantar Awal sambil menyeret tangannya. Awal berusaha mencegah Ibu dengan wajah bingungnya tetapi sungkan dan tidak sempat.
Ibu dengan cepat sudah berada di hadapan Pak Rektor lalu tersenyum. Pak Rektor juga tersenyum ke arah Ibu Awal. Semua orang terlihat menahan tawanya. Lalu Pak Rektor bicara sopan kepada Ibu, “Mohon maaf ya Ibunya Ananda Syawal bisa duduk dahulu di kursi kehormatan yang sudah kita sediakan di sana.” Pak Rektor menunjuk kursi yang tadi Ibu Awal duduki.
Ibu kaget kebingungan, lalu bicara cukup keras hingga suaranya tertangkap oleh microphone Pak Rektor yang membuat semua orang mendengarnya
“Ohhh Inggih, mohon maaf, Pak. Saya kira sama kayak pembagian rapor, disuruh ke depan gitu,” ucap Ibu polos.
Sebagian orang terlihat tidak mampu lagi menahan tawanya, hingga riuh tawa mengikuti kejadian itu. Maklum saja, Ibu hanya lulusan SD sehingga ini prosesi wisuda pertama yang dihadirinya. Pak Rektor segera mengisyaratkan tangannya kepada Awal untuk berdiri di depan podium. Awal bergegas bergerak ke podium dan kemudian memulai pidato kelulusannya.
Pagi, di Luar Halaman Gedung Kelulusan
Tidak ada topi toga yang berhamburan di udara yang ada hanya kerumunan orang-orang antri di setiap booth stand photo kelulusan dengan latar buku-buku entah dari perpustakaan mana. Sambil antre di depan pintu keluar, dari sudut luar gedung Awal terlihat memikirkan sesuatu.
“Setelah di luar gue pokoknya ga mau antri untuk foto mainstream yang sama dengan semua orang di booth itu!” ucap Awal dalam hati.
Awal terlihat keluar dari gedung bersama Ayah dan Ibunya. Sementara di sisi kanan luar gedung bagian luar, ketiga sahabatnya: Bima, Anang, dan Tari sudah menunggu. Anehnya hari itu dari dalam gedung terdengar jelas lagu sarjana muda dari Iwan Fals yang terdengar hingga ke telinga mereka.
“Eh buset, kok muter lagu ini ya? Ga jelas banget nih panitia,” keluh Bima.
“Emang kenapa, Bim? Lagunya sedih kok, pas sama momennya,” jawab Anang.
“Ya emang sih, judul lagunya sarjana muda, tapi kan ini ceritanya tentang para sarjana yang kemudian kesulitan nyari kerja. Kan waluh!” Bima masih kesal dengan lagu yang didengarnya.
Dari sudut pandang teman-temannya, Awal terlihat menggaruk tengkuk lehernya seperti berdebat dengan Ayah dan Ibunya. Ibu kemudian menarik tangan Ayah Awal untuk mengantre ke booth stand photo. Sementara Awal hanya bisa membiarkan mereka. Harapannya pupus.
Awal kemudian melengok kiri dan kanan mencari-cari seseorang. Saat sibuk mencari, Awal menyadari kehadiran tiga sahabatnya setelah mencium bau wangi Tari. Dengan dress cantiknya yang sedikit di bawah lutut, rambutnya yang panjang tergerai juga bunga di tangan. Tari menghampiri Awal diiringi kedua sahabatanya. Jarak 1 meter dari Awal. Awal langsung berbalik.
“Eh Tariiiiiii!” Awal berbalik dengan wajah yang terlihat senang karena mencium bau wangi Tari.
“Emhhh, ingattttt udah punya. Udah punyaaaaaa woyyyy! Sekalian aja jangan cuma dua, tapi bikin 30 biar kayak kalender!” Anang menanggapi setelah melihat kelakuan Awal.
“Hebat juga ya Wal ternyata kecerdasan lu bikin lu tahu keberadaan gue.” Tari tersenyum. ”Nih buat lu.” Tari memberikan bunganya pada Awal dan berucap, “Btw, akhirnya ya Wal semua rencana lu sejak dulu tercapai juga ya. Selamatttttt.”
Bima langsung menarik badan Awal keras, lalu memintanya mendengarkan lagu yang diputar dari dalam gedung.
“Coba lu dengerin!” suruh Bima kepada Awal.
“Aihhh waluh kok lagunya ini sih?” jawab Awal dengan jengkel sambil melihat ke arah dalam gedung.