Tengah Malam, Lapangan Kampus
Malam itu lapangan kampus terlihat sangat gelap. Cahaya bulan yang terlihat terang, membuat kita bisa melihat beberapa tenda kemah di lapangan itu. Dari dalam tiap-tiap tenda hanya terlihat satu senter yang dibiarkan menyala untuk menerangi ruangan tenda.
Tenda hanya berisi delapan orang mahasiswa yang tidak saling akrab karena ini adalah awal pertemuan mereka semua. Dari dalam tenda kita bisa melihat jelas hampir semua orang sedang tidur pulas di atas tas mereka masing-masing yang dijadikan sebagai bantal tidur. Semua orang tidur dengan pulas kecuali Bima, Tari, dan Awal yang hanya sekadar mencoba memejamkan mata.
Sesekali Awal terlihat membuka matanya untuk memperhatikan anggota kelompok yang lain. Awal, Tari, dan Bima sudah tahu apa yang akan terjadi setelah ini karena banyak belajar dari pengalaman mahasiswa lain. Tari bahkan terlihat begitu siap, tepat di sebelah badannya ada tumpukan pakaiannya yang terlipat rapi.
Dari lapangan kampus kita bisa melihat ada sebuah jembatan penghubung antara gedung kampus dan lapangan. Semua lampu di gedung itu mati kecuali satu ruangan yang digunakan para panitia untuk berkumpul. Dari depan jembatan yang gelap saat itu, beberapa senter dengan lampu putihnya terlihat menyala mengarah mendekat ke lapangan diiringi suara hentakan kaki banyak orang yang berlari kecil di atas jembatan kayu. Suasana yang tadinya hening pecah menjadi gaduh ketika seluruh senior berteriak.
“Bangun Ding[1] bangun, bangun! Lu kira di sini hotel apa?! Bisa-bisanya tidur enak. Bangun, bangun! Keluar cepat!” Salah satu senior berteriak.
Senior lain juga berteriak dengan tidak kalah nyaringnya. “Pakai semua seragam dan almameter, juga semua perlengkapan yang sudah kami minta! Cepat Dinggg!”
“Bangunnn, bangunnnnnnnn!” Senior yang lain lagi datang dan berteriak sambil menggoyangkan tenda kelompok Awal.
Semua mahasiswa kocar-kacir berhamburan keluar. Teriakkan masih terdengar gaduh. Awal, Bima, dan Tari keluar dengan perasaan yang tidak terlalu kaget meskipun mereka tetap bisa merasakan bagaimana suasana mencekam hari itu. Sementara Anang yang tertidur lelap dan tidak siap, benar-benar merasa kaget.
Anang benar-benar seperti disambar petir. Kaget dan seolah nyawanya masuk dengan paksa. Kepalanya terasa pusing, tetapi dia berusaha bangun dengan keadaan mengantuk luar biasa. Kemudian Anang menjadi tambah kebingungan dan panik ketika sadar dia kehilangan almameternya.
Anang mencoba menyalakan senter untuk mencari almameternya. Suasana tenda saat itu benar-benar gaduh karena tiap-tiap orang berusaha memasang seragam dan perlengkapan yang diminta. Mereka juga harus memasang topi dan papan dari kardus yang dijadikan kalung. Di tengah kepanikan itu Anang juga ikut mencari almameternya. Akhirnya setelah meraba dia menemukannya lalu langsung meninggalkan anggota lain ke luar tenda menyusul Awal, Bima dan Tari yang sejak tadi sudah diteriaki karena anggota tidak lengkap.
Anang masuk barisan sambil mengucek matanya. Seniornya saat itu memandangnya cukup aneh karena Anang mengenakan almameter yang cukup kekecilan dari badannya. Anang menyadari pandangan aneh itu. Dia kemudian melihat almameternya yang memang terasa kekecilan. Dia langsung sadar bahwa almameternya memang ketinggalan di toilet saat dia izin untuk kencing tadi malam. Anang memutuskan diam saja untuk cari aman.
Tujuh orang dari kelompok itu akhirnya berkumpul dalam barisana kecuali satu orang perempuan yang terlihat menangis keluar tenda lalu menemui senior. Melihat itu salah seorang senior bertanya, “Kenapa, Ding?! Jangan cengeng, jangan nangisss!”
Dian yang almameternya hilang tadi menjawab, “Almameter saya hilang, Kak.”
“Kamu ga menghormati kampus ya. Kalian semua mesti ingat ya! Almameter kalian itu harga diri kalian! Jadi JAGA BAIK-BAIKKKK! Jangan cengeng. Kamu kelompok berapa?” bentak senior tadi.
“Kelompok 8 Kak,” jawab Dian.
Senior itu bertanya, “Siapa ketua kamu?”
Lalu dijawab oleh Dian, “Muhammad Syawal, Kak.”
Senior itu kemudian membawa anggota kelompok itu ke hadapan Awal dan kelompoknya. “Elu! Ada satu anggota lu yang kehilangan almameter! Kalian itu keluarga, kenapa dia ditinggalkan sendirian?! Lu yang katanya pintar kan? Jawab!” bentak salah satu senior.
Awal hanya diam ketika dibentak. “Bisu ya?!” Senior kembali membentak Awal, “dari kelompok ini ada yang tahu di mana almameter teman kalian?!”
Semua diam. Anang gugup. Tetapi dia juga diam karena cari aman. Beberapa senior kembali melihat Anang curiga. Tapi, dia tetap diam dengan wajah tidak bersalahnya.
“Sebagai satu kelompok kalian itu harus saling menjaga! Bukan seperti ini!” kata Senior tersebut, lalu berbalik. “Hey kamu,”–Senior itu menunjuk anggota yang kehilangan almameter itu–“ masuk ke barisan dengan sit up 10 kali sambil bilang ‘maaf saya salah’. SEMUANYA!” Semua hanya bisa menurut.