Pengangguran

Edi sandayu
Chapter #2

Bercerita dan tertawa

Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang aku sembunyikan.

Pagi selalu sama: secangkir kopi yang tak pernah habis, televisi yang menyiarkan berita murahan, dan kursi kosong di ruang tamu yang menatapku lebih lama daripada siapa pun. Kadang aku merasa, kursi itu lebih paham hidupku daripada orang-orang yang kutemui di jalan.

Hari-hari membosankan itu berjalan pelan, seperti jam dinding yang sengaja menunda detiknya. Aku ingin tertawa, tapi tidak ada alasan. Aku ingin bercerita, tapi untuk siapa? Tidak ada. Bahkan ketika aku menertawakan kebodohanku sendiri, suaranya hanya memantul di dalam kepala, tidak pernah lolos keluar.

Sampai akhirnya, di suatu sore, aku melihat poster kusam di tiang listrik:

“Open Mic Malam Ini. Coba Berani Tertawa.”

Aku tidak sedang mencari panggung. Aku hanya mencari tempat untuk menertawakan diriku sendiri, tanpa ada yang bertanya kenapa.

Aku berdiri, menatap cermin di kamar. Wajahku terlihat seperti roti tawar yang terlalu lama di etalase datar, pucat, dan agak menyedihkan. Kadang aku merasa, kalau aku tersenyum, orang-orang akan mengira aku sedang promosi pasta gigi yang sudah kadaluarsa.


Jam menunjukkan pukul tiga sore. Aku menyalakan televisi, berharap ada acara yang bisa menyelamatkan kewarasanku. Yang muncul hanya sinetron dengan tokoh yang entah kenapa bisa hidup lagi setelah ditabrak truk. Aku mulai berpikir, mungkin aku juga perlu ditabrak truk supaya hidupku lebih seru.


Kopi di meja masih setengah. Aku menyeruput, lalu meringis. Rasanya seperti air hujan yang ditampung ember bocor. Tapi entah kenapa, aku tetap meminumnya. Mungkin karena itu satu-satunya hal yang membuatku merasa punya tujuan: menghabiskan sesuatu, meski tidak enak.


Di luar, suara anak-anak berlarian. Mereka tertawa, keras sekali, seperti dunia tidak pernah punya alasan untuk murung. Aku menutup jendela. Aku tidak iri. Aku hanya takut, kalau aku ikut tertawa, mereka akan tahu bahwa aku sebenarnya sedang menertawakan diriku sendiri.


Lalu aku ingat lagi poster tadi:

**“Open Mic Malam Ini. Coba Berani Tertawa.”**


Aku tidak tahu siapa yang menempelkannya. Tapi rasanya, poster itu seperti dilempar langsung ke wajahku.


Aku menyalakan kipas angin, berharap udara kamar jadi lebih sejuk. Yang terjadi, kipas itu malah menaburkan debu ke seluruh ruangan. Aku bersin, keras sekali, sampai tetangga mungkin mengira aku sedang latihan vokal dangdut.


Di meja kerja, ada tumpukan kertas kosong. Bukan untuk pekerjaan,aku bahkan tidak punya pekerjaan tetap,tapi untuk menulis daftar hal-hal penting yang harus kulakukan hari ini. Aku menuliskan:


1. Bangun.

2. Menyadari hidup masih membosankan.

3. Tidak menyerah,setidaknya sampai sore.


Setelah selesai, aku menatap daftar itu lama sekali. Lalu aku menambah nomor empat:


4. Cari alasan untuk tertawa.


Tapi mencari alasan untuk tertawa lebih sulit daripada mencari sandal jepit yang hilang sebelah.


Aku mencoba menyalakan radio. Stasiun pertama memutar lagu galau. Stasiun kedua memutar berita politik. Stasiun ketiga mati total, hanya suara kresek-kresek seperti hantu yang sedang ngemil keripik. Aku memilih diam. Diam lebih jujur.


Di sudut ruangan, ada aku lain bayangan yang menatapku dari cermin. Ia seolah berkata: *“Kamu terlalu serius untuk hidup yang segini-segini saja.”*


Aku menunduk, lalu tertawa kecil.

Lihat selengkapnya