Tersenyum manis penuh sapuan bedak senada dengan kulit wajah serta blasoon menghiasi raut wajah seorang gadis cantik, berkulit hitam manis. Sejak tadi senyumannya selalu melempar sumringah, seraya hati dan perasaan sesungguhnya sedang berbahagia. Lihat saja bibirnya merona memerah, warna lipstik menyelimuti bibir tipis seraya berdecak kagum, atas perasaan hatinya pada Anugerah Yang Kuasa, telah memberikan calon pendamping hidupnya yang paling setia.
Sepasang pengantin sedang melangsungkan foto prewedding outdoor berlatar belakang tugu monas berselimut kabut tipis, beratap langit sendu cerah. Gaun pengantin putih sederhana menyelimuti tubuh langsing, di tambah tiara putih bertahta hamparan batu permata zircon swarovski terselip pada rambut tergerai panjang, gadis itu adalah Puji.
Puji, gadis cantik berparas manis sebentar lagi menjadi istri seorang lelaki dokter. Sungguh gagah dengan balutan setelan jas hitam sederhana, kilatan cahaya sinar matahari seraya malu-malu memantulkan pada kilauan sepasang sepatu hitam yang dipakai dua kaki calon suami, gadis berkulit hitam manis, ia juga seorang dokter.
Sentuhan jemari-jemari saling berpadu saat disertai kilatan lampu blitz kamera menjepret gaya Fuji dan Rendra beratapkan langit cerah sendu mematulkan bayangan menjulang tinggi tugu monas. Langkah kaki Fuji seraya pelan, sesekali dibantu dua tangannya menarik gaun pengantin putih, seputih cinta mereka berdua.
Sambutan jemari Rendra penuh kehangatan meraih jemari-jemari calon istrinya kini menatap wajah calon suaminya itu. Berganti-ganti gaya dan disertai jepretan lampu biltz kamera mengarah pada mereka berdua, sampai menjelang senja.
"Satu kali lagi, setelah ini selesai," kata lelaki berwajah berewok mengarahkan kamera pada Fuji dan Rendra tersenyum saling menatap sumringah.
***
Seragam putih kedokteran dikenakan Puji lengkap dengan stetoskopnya di kalungkan pada leher. Terdengar halus langkah dua kaki berjalan terbalut sepatu tipis menapaki setiap bentangan keramik putih sepanjang koridor jalan lorong rumah sakit terapit dinding tembok semuanya berwarna putih.
Dua langkah kaki Puji kini mengajak masuk kedalam ruangan rawat inap. Tebaran senyuman manis Puji selalu terlempar pada setiap wajah-wajah penuh kesenduhan pasien-pasien terbaring pada bangsal.
"Loh, loe udah masuk?" tanya Devi teman sejawatnya Puji.
Devi masih menekan pelan ujung stetoskop pada dada pasien lelaki setengah baya tersengal-sengal sesak napasnya, lelaki setengah baya itu terbaring pada bangsal.
Lantas Puji tidak menjawab pertanyaan Devi. "Napas Bapak ritmenya sudah cukup stabil. Saya sarankan, Bapak berhenti merokok ya,"
"Baik Dokter."
Pasien lelaki setengah baya tersenyum menjawab disertai suara mengi napasnya masih terasa sesak tersengal-sengal. Devi mengalungkan stetoskop pada leher, kemudian menghampiri Puji sudah berdiri diujung bangsal pasien satunya.
"Gimana kemarin. Lancar foto prweddingnya?" tanya Devi sudah berdiri membelakangi Puji sedikit maju perhatikan wajah wanita muda terbaring pada bangsal mulai diperiksa rekan sejawatnya itu.
Dua telapak tangan Devi ditekan pelan pada perut wanita muda. Sepertinya wanita itu sedang menahan rasa sakit pada organ dalam perutnya.
"Sakit?" ___ "Sakit Dok." tidak lagi dua telapak tangan Devi menekan perut pasien wanita muda itu menjawab saja pelan seraya benaran menahan rasa sakit pada dalam organ perutnya.
"Lancar jaya." jawab Puji berkelakar, jemari kanannya merogoh saku seragam putihnya dan mengeluarkan undangan berwarna merah muda.