"Krisis moneter mengakibatkan nilai mata uang rupiah melemah. Selain itu, krisis moneter juga berdampak pada berbagai sektor kehidupan, harga bahan pokok naik melambung tinggi dan banyak perusahaan bangkrut. Akibat krisis moneter, tentu banyak bank-bank di Indonesia mengalami kredit macet karena turunnya nilai tukar rupiah. Tentu kredit macet berdampak pada kegagalan bisnis dan utang serta rotasi perputaran uang yang tidak stabil. Maka itu pemerintah memutuskan untuk menyelamatkan perekonomian bangsa, dengan cara menggabungkan beberapa bank. Pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional, atau BPPN. Tapi, niat pemerintah justru disalah gunakan dan dijadikan kesempatan bagi segelintiran orang untuk memanfaatkannya dengan cara korupsi. Pastinya kita semua berharap krisis moneter ini cepat berlalu dan tidak berkepanjangan melanda bangsa kita. Selamat malam. Salam dunia berita malam."
Begitu lugasnya wanita muda membacakan berita dalam tayangan tv tabung.
Semakin berkerinyit, tanda kecemasannya jelas tergurat menyelimuti raut wajah Atna sesaat terduduk memandangi tv tabung seketika hanya terlihat layarnya hitam saat telunjuk jarinya menekan tombol remot.
"Kita semua berharap, tidak akan terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan. Semoga saja pemerintah bisa mengatasi krisis ekonomi dan tidak akan berdampak bagi kita semua," wajahnya tersenyum, rambutnya masih tersisa basah walau handuk berapa kali mengusapnya. Terduduk Puji disamping Atna, pandangan wajahnya masih menatap tv tabung sejak tadi layarnya tidak lagi menayangkan berita.
"Apa sebaiknya kamu menunda saja rencana pernikahan kamu dengan Rendra?" __ "Ditunda?"
Sedikit membantah dan beranjak bangun Puji sambil melemparkan handuk kesopa, raut wajahnya sesaat menatap wajah penuh cemasaan Atna.
"Ibu takut. Ibu cemas!" tegas sahutan Atna beranjak bangun lantas berjalan begitu saja meninggalkan Puji berdiri di ruangan tengah. Jelas bayangan Puji terlihat dari layar tv tabung. Ia sedang terduduk di sopa, tentu pikirannya kini semakin terkontaminasi dari kebahagian bercampur menjadi kecemasan.
***
Langit jakarta malam itu terasa gelap, tiada paparan sinar rembulam malam. Tidak tahu kemana sang indung bulan berkelana, biasanya sinar terang menerangi semesta jagat jakarta. Hanya terlihat pijaran kecil terang mata-mata bintang berkeliaran menyelimuti seantero jagat semesta malam memayungi gedung-gedung menjulang tinggi tidak tahu dimana ujungnya.
Tertegun dua mata Rendra, duduknya seraya kaku tidak bergerak pada sisi jok kiri mobil. Pandangannya sekali menoleh pada kubah masjid, di ujungnya terlihat agung berdiri tegak lafal Alloh. Matanya seraya berbinar menahan rasa sedih dan kecewa dengan sekali menghela napas.
Dari dalam masjid terlihat Arnold bergegas jalan kearah mobil sejak tadi terparkir menunggunya sholat. Terasa berat Rendra meletakan kembali foto pada laci dasbort mobil, padahal langkah Arnold semakin dekat. Foto Puji sudah kembali diletakan dalam laci dasbort mobil saat rekan sejawatnya itu sudah berdiri disamping sisi kiri mobil.
"Makasih Ren, loe udah mau nungguin gua sholat," __ "Ngak perlu kali, ngucapin terima kasih kayak gitu, Ar. Kita udah sahabatan dari SMA dan sampai kita kuliah kedokteran, juga sama-sama. Dari dulu sampai sekarang. Kita selalu saling menjaga rasa toleransi,"
Arnold tersenyum sejenak menatap lafal Alloh diatas kubah masjid. Rendra turun dari mobil, kemudian berdiri disamping Arnold. Tidak tahu mengapa tatapan Rendra seraya cemas bercampur rasa ingin marah ketika menatap sahabatnya itu.