Handphone berdering tepat dipukul 04.00 WIB, alarm yang sudah kusetel telah merusak tidur lelapku. Rutinitasku setiap hari selalu seperti ini, produktif dan sibuk. Segera kubuka selimut. Kunyalakan lampu kamar, sontak membuat Ghava ikut terbangun. Matanya yang masih lengket begitu sulit ia buka. Tanpa cuci muka terlebih dahulu, aku langsung memanaskan penggorengan di atas kompor. Kuambil sayuran dari kulkas beserta bumbu-bumbu yang sudah aku persiapkan dari semalam. Aku akan memasak capcay, kesukaan Ghava. Harum aroma bumbu yang ditumis menyebar hingga ke seluruh rumah. Dahsyat aroma masakan pagi, tidak akan tercium oleh tetangga. Rumah kami agak berjauhan. Tidak perlu takut akan merusak penciuman para tetangga di pagi buta.
Satu masakan selesai. Capcay sudah tersaji dengan kepulan asap menandakan masakan masih panas, baru diangkat dari penggorengan. Selanjutnya aku menggoreng ayam. Ayam yang sudah aku ungkep dengan bumbu yang kubuat sendiri, jauh berbeda rasanya dengan bumbu instan yang ada dipasaran. Cukup empat potong saja kugoreng. Dua untuk sarapan. Dua lagi untuk kami jadikan lauk dalam bekal kami ke kantor. Tidak lupa sambal goreng dan kerupuk udang yang sudah kubuat dari semalam.
Rutinitas yang melelahkan, tetapi entah kenapa membuat candu. Aku suka memasak. Aku suka menyajikan masakan-masakan enak untuk Ghava. Beruntungnya aku memiliki suami yang sangat suka makan. Baginya masakanku lebih enak dari masakan ibunya, mertuaku. Setiap kali aku masak, Ghava selalu menghampiriku ke dapur. Memeluk dari belakang, seraya mengecup pipiku dan membisikkan kata-kata yang intinya berterimakasih sudah kubuatkan masakan. Aku hanya tersipu dan cukup menambah semangatku memasak.
Ghava sedang memanaskan mobil di garasi. Sementara aku menyiapkan bekal yang akan kami bawa untuk makan siang di kantor nanti. Aku dan Ghava sendiri sudah rapi dengan seragam kantor masing-masing. Tepat pukul 06.30 kami berangkat. Ghava terlebih dahulu mengantarkanku sampai halte, karena kantorku cukup jauh dari rumah. Bersalaman dan saling mengecup pipi kanan kiri adalah rutinitas kami sebelum berpisah untuk kembali bertemu nanti sore sepulang bekerja.
Ghava Wistara adalah kakak kelasku sejak SMP. Karena kita pernah satu ekstrakulikuler dan berlanjut hingga SMA dengan ekstrakulikuler yang sama, pertemanan kita ternyata berlanjut sampai menjadi teman hidup. Ghava sebetulnya bukanlah tipeku. Dia terlalu pendiam dan tidak humoris. Terkadang leluconku hanya menjadi bahan tawaku sendiri saja. Ghava sering kali kebingungan dengan komedi yang kubuat. Selama satu sekolah, Ghava memang yang paling perhatian kepadaku. Segala yang ia makan atau minum yang menurutnya enak, pasti akan ia belikan juga untukku. Sempat menjadi perbincangan teman-teman satu ekskul kalau kami berpacaran. Kemudian kubantah dengan mulainya aku berhubungan dengan teman satu angkatanku di SMA.
Semenjak saat itu, Ghava mulai berbeda. Ghava seakan berhenti memberikan perhatiannya kepadaku. Aku sempat mencari tahu di internet dan bertanya kepada sahabatku mengenai sikap Ghava yang berubah drastis. Hasil yang kudapatkan diluar dugaanku, Ghava mungkin menyimpan perasaan untukku. Ada rasa yang tidak enak dan mengganjal. Aku paling benci kalau ada friendzone, perasaan yang tumbuh ditengah indahnya persahabatan antara laki-laki dan perempuan. Jika kuingat-ingat memang Ghava dulu sangat perhatian. Aku terkadang memanfaatkannya sebagai sumber informasiku karena selain dia adalah kakak kelasku, dia juga adalah wakil ketua OSIS. Eksistensinya di sekolah memang tidak terlalu dikenal, tetapi informasinya mengenai segala rencana-rencana kegiatan di sekolah sangat bermanfaat bagiku. Sebelum siswa-siswi lain mendengarnya sebagai informasi resmi, aku sudah mendengar terlebih dahulu sebagai informasi bocoran dari Ghava.
Kemacetan di jalan kali ini lebih parah dari biasanya. Sudah pasti aku terlambat ke kantor. Pikiranku kembali teringat pada masa lalu bersama Ghava. Bagaimana bisa dulu aku tidak menyadari kalau Ghava menyukaiku sejak di bangku SMP. Putaran-putaran masa lalu mulai berputar dikepalaku. Menonton masa lalu dibalik bayangan jendela bus angkutan karyawan kantor perusahaan tempatku bekerja.
Ghava tiba di waktu kelulusannya. Aku turut hadir dan membawakan sebuah hadiah berupa buket bunga yang berisikan mawar merah, mawar putih, mawar ungu, dan sejumput bunga pikok dibelakangnya. Ghava terlihat gagah mengenakan jas hitam, celana bahan hitam, dan sepatu pantofel yang mengkilap. Sementara untuk siswa-siswi selain kelas XII di persilahkan hadir ke sekolah dengan menggunakan seragam putih abu. Ghava melihatku dan tersenyum. Aku bangga dan bahagia melihatnya lulus dengan nilai memuaskan. Kudengar dia juga telah berhasil lulus di salah satu Perguruan Tinggi Negeri ternama di Indonesia.
Ghava menghampiriku dengan senyumnya yang khas, “Savita, terimakasih sudah datang.”
“Selamat ya. Akhirnya selesai sudah masa SMA-mu. Bagaimana rasanya ya mulai semester depan sudah tidak kulihat lagi kamu disini,” ucapku seraya menundukkan kepala. Sejujurnya aku sedih. Seperti ada yang hilang. Bukan. Lebih tepatnya seperti ada yang akan hilang dan tidak bisa kulihat lagi. Seperti menghilang selamanya. “Aku minta maaf. Suatu hari nanti kita harus bertemu lagi sambil memamerkan apa yang sudah kita capai ya,” Aku masih menunduk dan air mata setetes demi setetes turun membasahi sepatuku.
Ghava lebih mendekat kepadaku dan menggenggam tanganku, “Tentu kita akan bertemu lagi nanti. Kita akan tetap terhubung, zaman sekarang ‘kan sudah ada media sosial.”
“Entah kenapa, aku selalu takut menjadi asing denganmu, Ghav.” Aku sudah mulai mengangkat kembali kepalaku dan menatap Ghava. Ada yang aneh dalam diriku.
“Savita ….” Suara Kafi, pacarku. “Hai, Kak Ghava. Selamat ya atas kelulusannya. Selamat juga berhasil lolos masuk ke PTN yang sudah jadi incaranku sejak SMP.”
“Hahaha keren ya kau, Kafi, SMP sudah punya gambaran untuk kuliah dimana.” Kataku.
“Memangnya kamu belum, Ta?” Tanya Ghava.
“Aku baru kepikiran sekarang, Ghav.” Jawabku.
“Kemanakah Savita cantik ingin melanjutkan pendidikannya?” Kafi meledekku sambil mengelus-elus kepalaku dan merusak rambutku yang sudah kusisir rapi.
“Ke kampus Ghava. Aku mau ketemu Ghava lagi.” Ghava memerah. Kini jelas sekali kalau ia benar-benar punya perasaan kepadaku.
“Kepada semua siswa-siswa kelas XII yang sudah dinyatakan lulus di Perguruan Tinggi Negeri dan di Sekolah Kedinasan harap segera berkumpul di Ruang Matematika lantai 2.”