Pengantin Baru

Himawari
Chapter #2

Benar Sibuk atau Memang Bukan Prioritas?

Sabtu yang indah, seharusnya. Tapi ini menjadi sabtu yang paling menyebalkan. Ghava terpaksa harus lembur. Aku sedikit agak kesal karena itu bukanlah tugas Ghava yang sebenarnya. Ghava hanya menggantikan tugas seniornya yang tidak bisa mengikuti jam lembur karena ada urusan keluarga yang sangat penting, tuturnya. Aku malah tidak percaya, terlebih karena Ghava yang lebih senang bekerja dibandingkan menghabiskan waktu denganku.

“Sayang, jangan cemberut gitu, dong? Aku juga gak mau sebenarnya.” Katanya, sambil menata rambut.

Aku masih duduk diujung ranjang. Malas rasanya menanggapinya. Aku tahu betul itu bukan alasan yang sebenarnya dari seniornya. Aku paham bagaimana lingkungan pekerjaannya.

Ghava mengelus kedua pipiku dengan kedua tangannya. “Sayang, mohon, ya? Aku gak lama kok, Cuma sampai jam 12.”

“Jam 12 kamu bilang? Sadar gak, sampai jam segitu kerjaan rumah udah selesai semua?”

“Terus mau kamu sekarang aku gak ikut lembur dan bantu beresin kerjaan rumah?” Ghava bertanya dengan nada datar. Ia selalu salah paham dengan maksudku.

“Bukan begitu, Mas. Selama ini aku biasa mengerjakan pekerjaan rumah paling banyak. Karena aku sadar, akan lebih beres dan rapi kalau aku sendiri yang mengerjakan, “ aku menarik napas panjang. Rasanya ingin meledak karena Ghava tidak pernah mengerti maksudku. “Seenggaknya, kalau kamu ada di rumah, meskipun kamu gak bantu aku, tapi kamu ada didekat aku.” Aku mulai menangis.

Terkadang aku ingin memiliki ilmu yang bisa menelusuri isi hati Ghava yang sesungguhnya. Ghava sangat tidak peka. Aku hanya ingin dia ada di rumah. Bersamaku. Setelah hampir setiap hari kita habiskan waktu untuk pekerjaan. Dari pagi sampai sore. Bertemu hanya di malam hari. Lelah menyambar, bagaimana bisa kita ada waktu bicara panjang lebar. Hanya menyisakan waktu membicarakan suasana pekerjaan hari itu di mobil. Rasanya ingin sekali mendengar Ghava bertanya tentang kebahagiaanku, apa yang kusuka, apa yang kuinginkan.

Ghava mendekatiku sambil mengusap pipiku. “Maafin aku ya, Sayang. Aku juga gak mau berangkat ke kantor. Tapi gimana aku menolaknya?”

Kuangkat wajahku dan menatapnya penuh dengan kekesalan. “Kamu itu gak pernah ngerti keinginan aku.” Kutinggalkan Ghava yang terpaku menatapku.

Kuambil selembar tisu, kuseka air mataku. Kuambil kunci motor. Dengan pakaian yang teramat santai, kutancap gas. Kututup kaca helm agar aku bisa sambil menangis. Tidak ada tujuan kemana harus pergi. Setiap kali seperti ini terjadi aku merasa ingin melarikan diri dari Ghava.

Ini bukan kali pertamanya. Entah apa dan siapa yang salah, Ghava tidak pernah bisa menolak apapun yang berhubungan dengan pekerjaan. Di awal aku masih bisa mengerti. Sekali, dua kali masih bisa kumaklumi. Lama-lama aku mulai meragukan niat Ghava menikahiku. Apakah dia lebih mencintai pekerjaannya dibanding aku?

Aku berhenti di sebuah kedai kopi yang agak jauh dari pusat keramain. Entah kenapa aku selalu beruntung menemukan kedai yang seperti ini. Kedai yang sepi pengunjung dan suasananya sangat hening. Aku suka sekali tempat seperti ini. Aku tidak membawa ponsel, dengan pakaian yang teramat santai. Celana jogger panjang berwarna hitam, kaos polos oversized berwarna merah bata. Sandal jepit bermotif bunga yang terbuat dari karet, memberi kenyamanan pada kakiku. Rambut tergerai tidak karuan. Tersisir angin selama di perjalanan tadi. Kusisir rambutku dengan jemari tanganku sambil bercermin di jendela kedai yang tersamarkan oleh benda-benda dibaliknya. Lumayan. Kulenggokkan kepala ke kanan dan ke kiri, memastikan rambutku sudah cukup tertata.

Aku memesan secangkir coklat hangat dan roti bakar. Kulihat jam, ternyata baru pukul sembilan pagi. Kedai ini sudah buka, mungkin sebuah kedai sarapan jika dilihat dari menunya. Terdapat menu pagi dan menu siang sampai malam. Kedai yang unik.

Aku duduk diujung kedai. Disampingku jendela terbuka lebar, menyuguhkan pemandangan yang cukup menarik, rumah-rumah warga sekitar yang terlihat dari lantai dua kedai ini. Kedai ini ada di lantai dua. Di bawahnya adalah semacam pusat jajajan serba ada atau lebih dikenal dalam akronim pujasera. Angin sepoi-sepoi merusak rambutku. Kualihkan pandangan pada sebuah makrame yang tergantung di dinding. Sekilas tentang kafi melintas dibenakku.

“Cantikku Savita ...” Begitulah cara Kafi memanggilku. “Adakah sesuatu yang menganggumu? Kenapa kamu murung begitu?”

Aku jadi teringat Kafi. Ia teramat peka pada apa yang berbeda dalam diriku. Ekspresiku. Tingkah lakuku. Gerak-gerikku. Kafi paling bisa memahamiku. Tidak. Jangan ingat-ingat Kafi.

Aku mencoba mengusir pikiranku tentang Kafi. Entah kenapa setiap kali aku merasa kecewa dengan respon Ghava, aku selalu teringat dengan Kafi dan jadi membandingkannya. Kafi tidak layak kukenang setelah apa yang ia lakukan padaku. Tapi aku tidak dapat memungkirinya. Dibanding Ghava, respon Kafi memang jauh lebih cepat dalam memaknai sikapku. Kafi sangat peka, itulah yang menjadi point plus untuknya.

“Savita, kamu gak harus memaksakan supaya terlihat ok. Kamu mau cerita?” Kafi dengan kelembutannya seolah berperan sebagai sahabatku. Apapun keadaanku, ia tidak pernah menghardikku. Sebaliknya. Ia selalu menyuruhku untuk menjadi diriku sendiri. Jujur pada diriku apapun yang hatiku rasakan.

Aku menangis sejadi-jadinya, sore itu. Kafi berusaha tenang dan menutupi sebagian badanku dari kemungkinan orang-orang yang akan melihat.

Lihat selengkapnya