Seorang pria tampan nan gagah terlihat sedang mematut diri di depan cermin. Sesekali tersungging senyum tipis di bibirnya yang seksi. Senyum bahagia tak lepas dari bibirnya.
Jas hitam berpadu dengan kemeja putih sangat pas di tubuhnya yang tinggi menambah ketampanan yang berkali-kali lipat.
"Aku benar-benar tidak sabar," Xavier tersenyum dan mencoba untuk membuang nafasnya secara perlahan untuk menghilangkan kegugupan.
Pernikahan impian yang sudah sejak lama di rajut bersama sang kekasih meski harus melangkahi sang kakak laki-lakinya. Pria itu tidak ingin lagi menunda-nunda, sudah cukup hubungan yang terjalin selama ini. Xavier ingin segera menghalalkan, menjadikan sang kekasih sebagai RATU di dalam hidupnya.
Sambil menunggu yang lain siap, dia meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Dia mencoba untuk menghubungi sang calon istri, namun sayang panggilannya tidak terhubung malah nomor ponsel sang kekasih pun sekarang tidak aktif.
"Sepertinya kamu sengaja tidak mengaktifkan ponselmu. Dasar gadis nakal," gumam pria itu di iringi tawa kecil.
Rombongan pengantin pun bersiap berangkat menuju rumah mempelai. Beberapa iringan mobil mewah terlihat berjejer di jalanan.
Arshaka tersenyum menatap sang adik. Dia rela dan ikhlas jika harus di langkahi dulu olehnya. Karena bagi pria tampan itu, menikah bukanlah sebuah kompetisi. Bukan sebuah perlombaan. Arshaka menepuk bahu sang adik.
Kini mereka sudah berjejer duduk di kursi yang sudah di sediakan oleh Rini. Xavier sendiri sudah duduk di depan Penghulu. Pria itu sudah tidak sabar untuk melihat sang kekasih.
"Bagaimana sudah siap?" tanya Penghulu.
"Ya saya sudah siap," jawab Xavier tegas.
"Baiklah sebelum mengucap ijab kabul, boleh pengantin wanita di bawa kemari," ucap Penghulu.
Rini pun mengangguk dan beranjak menuju kamar sang putri. Perempuan paruh baya itu pun mengetuk pintu kamar bercat biru itu. Lama perempuan itu menunggu namun pintu tak kunjung terbuka.
Sementara pria itu sudah menunggu dengan gelisah. Lalu dia menatap sang kakak, Arshaka pun mengerti lalu dia beranjak untuk menyusul calon mertua dari adiknya itu.
"Bagaimana, sudah siap?" tanya Penghulu untuk yang kedua kalinya.
"Sebentar, Pak," ujar Xavier.
Tak lama Arshaka menghampiri sang adik dan membisikkan jika kekasihnya tidak ada di dalam kamar. Kamarnya kosong. Rona bahagia yang terlihat di wajah Xavier seketika lenyap. Rahang pria itu mengeras, berulang kali dia mengepalkan tangannya kuat hingga buku tangan itu terlihat memutih.
Keributan pun tidak dapat di elakkan. Rini, Abrian kalang kabut mencari keberadaan Meylan. Sementara Xavier masih terduduk dengan mata tajam melihat sekelilingnya.
Sementara itu seorang gadis berusia 19 tahun tengah asyik membantu orang-orang yang bertugas menyiapkan makanan untuk para undangan. Senyum selalu tersungging dari bibir mungilnya. Dia sama sekali tidak mengetahui jika di dalam sedang terjadi huru hara.
"Bagaimana ini, adikmu tidak ada di mana-mana Abrian," ujar Rini panik.
Abrian pun terdiam tidak tahu harus berbuat apa. Rini terdiam lalu dia pun menatap sang putra.
"Nandini, ya kita suruh dia untuk menggantikan adikmu," tutur Rini yang langsung beranjak keluar untuk mencari putri bungsu yang selalu di anggapnya pembawa sial.
Abrian tidak setuju, jika adik bungsunya harus menggantikan peran adik tengahnya. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Karena perintah yang keluar dari mulut Rini sang Ibu itu mutlak tak dapat di bantah.
Rini pun beranjak dari ranjang sang putri dan melangkah membuka pintu namun sebelum itu Rini sempat berbalik dan menyuruh Abrian untuk berbicara dengan Xavier jika sang pengantin akan di tukar.
"Ibu berharap pria itu mau menerima usulan ini," ucap Rini.
Lalu perempuan paruh baya itu berjalan dengan tergesa.