"Tuan Awas!" teriak Nandini dari belakang tubuh kekar Xavier kala dia melihat seorang pria membawa pisau dan akan menusuk pria itu.
Nandini pun berlari dan mendorong tubuh Xavier dengan sekuat tenaga. Xavier terjatuh, terhuyung dan Nandini menahan pisau dari pria itu. Hingga darahnya menetes mengenai wajah Xavier. Bodyguard Xavier langsung bergerak meringkus pria itu, mereka kecolongan.
Karena yang akan menusuk Xavier adalah anak buahnya sendiri. Tangan Nandini terluka, dan sepertinya luka di tangan mungil itu cukup dalam. Xavier beranjak, dia mengusap wajahnya yang terkena tetesan darah Nandini.
"Apa yang kau lakukan!" suara pri itu terdengar menggelegar ketika membentak Nandini.
Gadis yang di bentaknya itu langsung menundukkan kepala. Tubuh itu bergetar mendengar bentakan yang keluar dari mulut Xavier. Orang-orang yang mendengar keributan di depan pun langsung berlari menghampiri mereka. Mereka kaget begitu melihat gadis itu berdarah.
"Kau mau berlagak jadi pahlawan hah," bentak Xavier sambil mencengkram tangan Nandini.
Gadis itu semakin ketakutan, bahkan tubuhnya bergetar. Seorang pria menghampiri mereka. Dia melepas kasar tangan yang sedang mencengkram tangan gadis itu.
"Jangan pernah membentaknya," desis Abrian menatap tajam Xavier pria yang berstatus sahabat, ipar, dan juga bosnya itu.
Xavier diam, lama dia menatap pria yang sekarang berani menatapnya dengan tajam. Bahkan dengan beraninya, pria itu menghempaskan dengan kasar tangannya. Sungguh tidak tahu malu.
"Pergilah, sekarang dia bukan tanggung jawabmu!Hidupnya ada di genggaman tanganku!" ucap Xavier tak kalah dingin dan menatap nyalang pria itu.
Laki-laki tersebut pun menatap tajam Xavier,dengan terpaksa dia mengalah. Dirinya tidak bisa menolong gadis kecil itu. "Semua sudah terlambat Abrian, kau dan Ibumu yang mengantarkannya pada penderitaan yang tak bertepi, tak puaskah kalian menyiksanya, menyisakan sebuah trauma yang mendalam. Merusak mentalnya. Lalu apa yang kau lakukan sekarang? Menolongnya? TERLAMBAT!" Batinnya bersenandika.
Pria itu menatap nanar mobil yang kini perlahan meninggalkan halaman rumahnya. Bahkan tenda-tenda pun masih berdiri dengan gagahnya. Tangan pria tampan itu mengepal, menahan rasa sesak dan juga sakit.
"MEYLAN DI MANA KAU BERADA!" geram Abrian sambil melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah.
Laki-laki itu melihat ibunya sedang membuka hantaran yang di bawa oleh Xavier. Tersungging senyuman di bibirnya, tidak ada raut sedih atau menyesal dalam raut mukanya. Hanya ada kesenangan, perempuan itu sama sekali tidak khawatir terhadap keadaan sang putri.
Pria itu melangkah menuju kamarnya yang berada di lantai atas tanpa menyapa ibunya. Kini dia menatap sebuah poto dimana dalam pigura itu ada sebuah senyuman yang tulus terukir di wajah sang ibu. Sejak kejadian itu berhasil merenggut semua kebahagiaan keluarga kecilnya. Tapi, sekali lagi dia bertanya, apakah patut Nandini di salahkan sedangkan gadis kecil itu tidak tahu apapun.