Fajar belum juga menyingsing namun adzan subuh sudah berkumandang. Gendhis akan bangun dengan malas-malasan jam segini, itu pun bangun karena guncangan, cubitan bahkan teriakan dari sang ibu. Ibunya selalu bilang anak gadis harus bangun sebelum ayam berkokok, anak gadis bangun salat langsung bantu ibu di dapur. Lalu bagaimana kalau di dapur tak ada apa pun untuk di masak. Hanya ada singkong, ubi, pisang yang dikelilingi ngengat dan tepung terigu.
“Ndhis, kamu siapin adonan buat goreng ubi dan pisang.”
Gendhis menguap, sebelum berdiri di depan kompor. Inilah rutinitas ibunya sebelum pergi bekerja sebagai pembantu di perumahan depan. Walau sarapan hanya terisi menu sederhana, Gendhis bisa kenyang dan bahagia. Minyak sudah panas tinggal ubi dan pisangnya yang masuk ke wajan, untuk singkong biasanya Munah hanya mengukusnya bersama nasi. Kalau nasi sudah matang, biasanya Gendhis akan goreng telur atau bikin mie goreng saat pulang sekolah nanti. Untuk hari ini ibunya kebetulan tak masak, maklum tanggal tua.
“Nanti jangan lupa Emran dikasih.”
“Siap,” jawabnya semangat. Untuk Emran ia akan memilihkan gorengan terbaik yang renyah sekaligus tak gosong. Pisangnya di kasih banyak karena calon suami masa depannya itu suka sekali pisang goreng. Munah selalu memikirkan perut Emran, tetangga sebelah mereka sekaligus anak sahabatnya.
Gorengan telah matang Gendhis taruh di meja, tinggal menunggu dingin dan Gendhis bisa mandi dulu. Sebelum masuk ke kamar mandi, tak lupa ia membawa seragam putih merahnya.