Gendhis berjalan pulang sembari memikirkan kejadian seminggu lalu saat Emran pulang dengan luka memar. Pemuda itu tak menjelaskan apa pun padanya tapi bercerita pada sang ibu. Mungkin hanya orang dewasa yang tahu masalah remaja. Mungkin Emran berkelahi karena berselisih dengan teman, mungkin juga karena berebut perempuan. Gendhis menggeleng keras jika penyebabnya yang kedua. Perempuan secantik apa yang bisa meraih hati kakak tetangganya itu? Gendhis pastilah lebih unggul kalau saja lebih tinggi, lebih putih dan lebih mancung.
“Gendhis pulang sama-sama yuk.”
Gendhis membalik badan, di belakangnya sudah ada Tono teman sekolahnya. Anak itu melambaikan tangan dan juga tersenyum memperlihatkan giginya yang putih, kontras sekali dengan kulitnya yang gelap dan korengan. Gendhis mengeratkan tali tasnya ketika melihat kawannya itu menggaruk pantat. Lihat, kaos kaki Tono mlorot satu memperlihatkan penampilannya tidak terawat. Gendhis membuang muka lalu ancang-ancang untuk lari. Maaf saja ia tak tertarik pada anak ingusan, Emran tetap menjadi nomor satu di hatinya.
***
Sorak sorai orang menggema, mengelilingi sebuah aula yang diterangi lampu besar. Di tengah aula dibuat ring yang dikelilingi kawat besi. Di ring terdapat dua orang yang tengah bertarung hingga berdarah-darah. Keduanya diberi semangat oleh para penonton yang hadir dan bertaruh. Emran tahu datang kemari adalah suatu hal yang salah tapi di sini cara tercepat mendapatkan uang. Dia tak pandai bertarung namun di arena tarung bebas hanya dibutuhkan orang yang tahan pukulan dan tahan dibanting. Emran sudah membulatkan tekad, demi biaya kuliah ia siap mempertaruhkan nyawa. Di arena ini kerap ada yang meninggal karena terluka parah.
Musuhnya berbadan besar dan tinggi tanpa Emran kenal atau tahu namanya. Mereka di adu seperti seorang gladiator. Emran yakin bisa menumbangkan sang lawan, karena gerakannya lumayan lincah serta tubuhnya bisa dikatakan ramping. Tapi di arena pertarungan bebas tak mengenal istilah taktik. Tinjuan sang lawan begitu cepat, tendangannya juga tajam dan menyasar daerah vital. Emran kewalahan hingga mundur ke belakang.
Emran salah terka, lawannya sangat agresif menginginkan dirinya tumbang. Ini baru babak pertama, Emran tidak akan dikalahkan dengan mudah dan cepat. Emran menyerang, mengerahkan seluruh tenaganya memukul bagian kepala. Usahanya membuahkan hasil lawannya jatuh namun sepertinya si pria besar murka. Dia berdiri dengan cepat lalu menerjang Emran. Jelas serangan tiba-tiba yang tak diperhitungkan itu melukai rahang kirinya. Emran jatuh dengan kepala pening dan pandangan kabur. Sebanyak apa pun pukulan, sebaiknya Emran bertahan lalu berakhir dengan menang dan mendapatkan uang.
***
Tidur lelap Gendhis terganggu karena suara besi jatuh. Apa ada maling, kucing atau tikus namun suaranya begitu keras seperti sesuatu yang besar telah menyenggolnya. Tak mungkin binatang kecil bisa menjatuhkan palang. Gendhis memberanikan diri menyibak tirai jendela, mungkin ada sesuatu yang mencurigakan namun matanya membola tatkala melihat Emran pulang dengan sempoyongan. Lelaki itu menjatuhkan palang pagar rumahnya. Apa tetangganya itu tengah mabuk? Gendhis langsung menggeleng keras, Emran pemuda baik. Judi, mabuk bukan hobinya. Gendhis mengambil sandal dan jaket, ia keluar lewat pintu belakang. Nampaknya Emran kesulitan masuk rumah. Niat awal ingin membantu tapi Emran keburu masuk rumah tapi baru beberapa langkah pemuda itu sudah jatuh pingsan. Menyisakan Gendhis kecil yang menjerit panik. Tak mungkin ia menyeret Emran sampai ke dipan tanpa meminta bantuan orang lain. Maka ia putuskan untuk membangunkan ibunya saja.