Gendhis berjalan dengan lesu, hari ini panas seperti biasa. Lapar juga iya, haus apalagi tapi keadaan mengenaskan itu sudah biasa ketika pulang sekolah. Ada hal lain yang membuatnya lemas, hal itu berhubungan dengan Emran.
“Bang Emran hebat, kata bapak. Dia berantem di gelanggang ngalahin orang yang ototnya gede.” Gendhis mendekatkan telinga ketika nama Emran disebut. Dia sedang berdiri mengantri untuk membayar jajanannya di kantin.
“Masak?”
“Iya kata bapakku begitu. Bapakku suka pasang taruhan di sana soalnya dan Bang Emran sering menang.”
Gendhis memang anak ingusan tapi dia cukup tahu apa yang terjadi di gelanggang. Itu sebabnya di halaman rumah tetangganya itu dipasang sandsack, tiang besi, bambu dan juga beberapa ban bekas. Emran menggunakan benda-benda itu untuk latihan serta membesarkan otot. Makanya pemuda itu terlihat berbadan kekar sekarang. Itu juga kenapa Emran sudah jarang menjadi kuli bangunan atau kuli panggul di pasar. Emran mempunyai pekerjaan yang menghasilkan uang banyak. Untuk pertama kalinya, Gendhis didera kecewa pada pria pujaannya. Pekerjaan Emran sekarang mengingatkannya pada almarhum ayahnya yang kerap memukuli ibunya. Baginya lebih baik mendapatkan lelaki sederhana daripada lelaki tukang pukul. Pandangannya tentang Emran mulai saat itu telah berubah, kakak yang baik hati, perhatian serta menjadi panutan kini berganti dengan pemuda kasar yang tak pernah ia kenal.
**
Memahami apa yang terjadi membuat Gendhis tak bernafsu makan padahal ibunya membawakannya sate madura dengan saus kacang banyak. Makanan mewah baginya itu Cuma di aduk lalu lontongnya Gendhis potong jadi kecil tanpa dimaksudkan untuk dimasukkan ke mulut. Munah pun mengerutkan kening ketika melihat tingkah putrinya.
“Kamu sakit?” Gendhis menggeleng sebagai jawaban.
“Kenapa kamu gak makan?”
Putrinya iu Cuma mendongak lalu menatap sayu ke arah sang ibu. Munah jadi serba salah sebab mata Gendhis mulai sembab. “Luka Kak Emran bulan lalu itu karena bertarung kan Bu?”