“Sampai kapan Bang Emran mabuk-mabukan? Gendhis kangen sama Bang Emran yang dulu.” Doanya di dengar Tuhan namun kenapa dia sekarang malah menyesal. Gendhis tak suka melihat Emran hancur.
“Kita doakan semoga Emran segera sadar.”Munah menghembuskan nafas sembari memasang kerudung. “Orang patah hati biasanya memang begitu.”
“Tapi sampai kapan? Ini sudah sebulan Bu. Bang Emran masih mabuk, pulang ke rumah sempoyongan bahkan kadang tidur di halaman.” Itu membuat Gendhis resah, karena banyak orang yang mati karena alkohol.
Munah menggedikkan bahu, karena ia sendiri tak tahu bagaimana menyembuhkan sakit hati Emran. “Sudah masalah Emran kamu gak perlu ikut campur. Itu ada oseng kacang sama tempe bacem, kamu kasih Emran buat makan malam. Ibu nanti nginep di tempat Ibu Hartati, suruh jaga rumahnya. Jadi jangan nungguin Ibu pulang.” Gendhis mengangguk paham lalu mengambil sandal untuk mengantar ibunya ke depan.
***
Gendhis mengucek mata lalu melihat jam dinding. Sudah pukul sepuluh malam. Ia ketiduran di atas meja karena terlalu rajin belajar. Sekeras apa pun usahanya, angka nilai ulangannya tak lebih dari tujuh. Gendhis sadar diri jika otaknya tidak pintar. Belajar belum sampai sejam, kepalanya sudah berat dan minta di istirahatkan.
Sepertinya ia juga melupakan sesuatu. Oh iya makan malam untuk Emran belum di antarkan. Semoga saja pria itu belum pulang. Gendhis bergegas ke ruang makan menata piring lalu mengantarkannya lewat pintu belakang.
Pintu Belakang rumah Emran jarang di kunci. Sekali putar, pintu itu terbuka. Gendhis akan meletakkan makanan ini di meja dapur lalu pergi namun niatnya terhenti ketika mendengar tawa cekikikan perempuan dan laki-laki. Apakah Emran menyewakan rumahnya ini? Dengan mengumpulkan tekad, Gendhis berjalan mengendap-ngendap ke ruang tamu. Ternyata Emran sedang duduk di sofa sembari memangku perempuan. Di meja terdapat beberapa botol minuman dan ada seorang perempuan lagi yang mengelus kaki Emran.