Keduanya tak mencapai mufakat, maka tak ada cara lain selain melibatkan Munah sebagai ibu Gendhis. Tinggal Emran yang mengumpulkan nyali untuk bicara. Ia takut membuat hati Munah hancur, membuat sahabat ibunya itu menangis pilu. Emran telah menghancurkan masa depan putri semata wayang Munah.
Ketika bertemu Munah dan duduk di ruang tamu, Kaki Emran gemetar, nyalinya agak gentar namun ia harus menguatkan diri. Mnegutarakan maksudnya apa. Gendhis tak terlihat sama sekali, mungkin gadis itu memilih bersembunyi di dalam kamar. Rasanya tenggorokannya kering. Ia mengambil teh yang sudah Munah suguhkan.
Ketika dirinya siap, Cerita tentang dirinya dan Gendhis meluncur begitu saja. Emran dengan jujur menceritakan semuanya, kesalahannya, pemaksaannya dan juga tindakan di bawah pengaruh alkohol yang telah ia lakukan. Emran siap di tampar dan di amuk oleh Munah tapi perempuan itu malah menangis dan berlari menghampiri Gendhis.
Di kamar pemandangan begitu memilukan. Munah dan gendhis berpelukan sambil menangis, membuat Emran yang berada di depan pintu masuk terpaku serta dihantam rasa bersalah. Bagaimana bisa ia melakukan hal keji pada dua orang yang berharga untuknya. Alkjohol memang sialan, kehilangan Fiona membuatnya jadi pribadi buruk tapi Emran berjanji setelah ini ia akan berubah menjadi lelaki baik serta suami yang menghormati istrinya.
Munah memutuskan menikahkan Emran adalah pilihan yang baik. Walau Emran telah memperkosa Gendhis tapi Munah yakin anak itu bukan pria bajingan yang suka mempermainkan perempuan. Emran bertanggung jawab, Munah mengenal watak Emran sebenarnya karena mereka adalah tetangga dari lama. Munah ada di kala Emran lahir. Wanita ini banyak membantu Marni ketika kesusahan dulu, begitu juga sebaliknya. Emran banyak membantu Biaya sekolah Gendhis.
“Aku gak mau nikah!”
Itulah yang Gendhis selalu katakan padahal pernikahan mereka tinggal sehari lagi. “Kenapa solusinya Cuma nikah?”
“Karena gak ada jalan ke luar lain.”
Kerjaan Gendhis Cuma menangis ketika bertemu dengan Emran. “Ada aja kalau di cari.”
Emran mendesah maklum, lalu dengan sabar ia menatap mata Gendhis yang merah lalu mengusap pelan air matanya dengan ibu jari. “Abang mau tanggung jawab. Kamu mau kan nikah sama abang?”
Gendhis memalingkan muka karena memang di rasa tak menemukan pilihan lain untuk saat ini. “Oke. Aku mau nikah sama abang tapi ada syaratnya.”