Bisnis yang Emran jalani berkembang pesat. Ia merenovasi arena gelanggang menjadi lebih besar dan memiliki dua lantai. Untuk lantai atas yang luas sekali, ia tak berpikir mau dijadikan apa selain tempat sasana tinju. Senjata yang Emran jual pun laris karena harganya lebih murah dari senjata dengan lisensi resmi. Yang paling mencengangkan adalah bisnis ganja. Tanaman kering itu terjual dengan cepat dan mudah. Emran sendiri ingin membeli kebun untuk menanam ganja di pulau sumatra, tapi niatnya agak terhambat karena belum bisa bepergian jauh meninggalkan istri dan juga bisnisnya di sini.
Kesuksesan dan kemandirian Emran dicium oleh ayah biologisnya, Ferdinant Ang. Pria paruh baya itu terusik, merasa jika Emran harusnya tak terlihat agar dosanya di masa lalu juga ikut terkubur. Keberadaan Emran yang semakin maju membuatnya resah. Bagaimana kalau anak itu sukses besar lalu menjadi sorotan. Wajah Emran bak pilang di belah dua dengan dirinya pada masa muda. Orang-orang pasti menyadari bahwa Ferdinant pernah berhubungan dengan pelacur rendahan hingga melahirkan anak jadah.
Maka dengan muka sombong serta congkak, ia secara pribadi mengunjungi putra sulungnya. Ferdinant berdiri di depan arena yang lebih mirip stadion ini lalu mendongakkan wajah ke langit. Anak yang tak diharapkannya menjadi pemilik tempat ini padahal Emran dulu berusaha ia singkirkan dan jatuhkan. Yang membuat hatinya merasa tak terima adalah Emran berhasil dengan usahanya sendiri melampaui dua putra sah-nya yang bodoh dan lemah itu.
Begitu masuk dan menapakkan kaki. Ferdinant merinding ketika mengawasi arena tarung. Bukan rahasia lagi Emran adalah juara bertahan di pertandingan bebas itu. Putranya bertahan hidup dengan menggadaikan keberanian serta nyawa, yang harusnya Ferdinant beri acungan jempol.
“Mau apa kamu ke sini?”
“Itu ucapan pertama ketika bertemu ayah kandungmu?”
Rambut Ferdinant boleh nampak memutih, namun ketekatan serta pikiran culasnya masih awas. Pria ini datang tanpa diundang dan menjejakkan kaki seperti memiliki tempat ini.
“Baru sadar jika memiliki putra lain?”
“Aku sadar itu ketika kamu lahir.”
Emran geram karena Ferdinant menjawab pertanyaan dengan santai. Sadar ia ada tapi tidak mau mengakui dan membiayai. Bahkan kunjungan Terakhir Emran membuahkan sakit hati tapi karena penghinaan itu juga Emran bisa jadi seperti sekarang ini.
“Nama baikku akan tercemar jika mengakuimu sebagai anak.”
Emran tersenyum pahit. Pria ini adalah pria yang sangat egois, pria yang tak punya hati, bahkan setua ini pun masih main perempuan. Emran tahu istri sah Ferdinant baru saja meninggal, pria ini mungkin berniat mencari penggantinya.
“Nama baik? Apakah itu masih ada.”
Ferdinant menggeram rendah. Emran adalah satu-satunya putranya yang sangat lencang serta berani bahkan punya potensi untuk menumbangkannya. Ferdinant menggeleng pelan sembari tersenyum iblis. Manusia kotor harus ditempatkan di antara para lumpur. Sekuat apa Emran bangkit maka Ferdinant akan dengan senag hati menenggelamkannya.
“Aku ke sini bukan untuk memperbaiki hubungan kita jadi jangan berharap banyak.”