Empat puluh hari setelah kepergian Munah. Barulah Gendhis bisa ceria lagi, mungkin karena sebentar lagi ia akan menerima surat kelulusan dan mulai bertemu beberapa kawannya jika datang ke sekolah. Emran perlahan meninggalkan Gendhis di rumah untuk mengurus masalahnya. Pengacaranya sudah mengurus surat perijinan arena gelanggang dan jasa sewa yang dijalaninya. Masalah senjata lumayan rumit karena Emran harus merogoh kocek yang dalam, selain rugi masalah itu juga berpeluang besar menyeretnya ke penjara.
Membangun segalanya setelah diterpa badai, lebih sulit dari pada memulai semuanya dari nol. Uang pinjaman di bank hanya cukup menangani kasus gudang senjata padahal arena atas gelanggang sedang dikembangkan dan renovasi. Kepalanya pening luar biasa tapi untunglah teman kuliahnya ada yang berbaik hati membantunya. Renovasi bisa berlanjut, bisnisnya perlahan merangkak naik setelah surat ijinnya ke luar.
Setelah lulus sekolah, Gendhis memilih perkerjaan yang sesuai cita-citanya. Ia diterima sebagai kasir di supermarket besar. Rumah lamanya disewakan, uangnya dipakai untuk membeli motor matic bekas. Gendhis memutuskan pindah ke rumah Emran walau pria itu sekarang jarang pulang. Kadang ia menghubungi Emran lewat ponsel, sekedar menanyakan kabar tapi suaminya itu entah mengapa tak berbicara banyak padanya seperti sedang diburu waktu atau takut ketahuan.
Gendhis pernah berpikir, mungkin saja saat ini Emran menjalin hubungan dengan wanita lain yang sangat pencemburu. Hatinya memang didera kecewa namun bila itu terjadi Gendhis Cuma minta agar Emran meresmikan pernikahan mereka lalu menceraikannya. Kalau begini terus nasib Gendhis seolah terkatung-katung. Punya suami layaknya bang Toyip yang jarang pulang tapi masih memberinya nafkah. Ia bukan perawan tapi belum menikah. Kan suaminya nanti akan bertanya-tanya, kenapa dapat perawan rasa janda.
Berbulan -bulan Emran tidak pulang dan Gendhis kali ini gengsi menelpon duluan padahal dalam hati ia ingin tahu kabar suaminya. Duli seandainya ia mau di ajak ke kantor pria itu, mungkin Gendhis akan datang dengan sendiri lalu menanyakan banyak hal pada suaminya itu. Hari ini mendapat jatah libur, maka ia memutuskan jalan-jalan ke pasar tanah abang tempat Mitha membantu ibunya untuk menjual pakaian.
“Aku lebih suka jualan dari pada kuliah,” ucap Mitha sembari mengguntingkan tali rapia. Hari berkodi-kodi barang datang.
“Kamu bilang begitu kan karena gak ke terima di perguruan tinggi milik negara,” timpal Gendhis yang lebih suka memilih baju dengan meraba kainnya.
“Aku kasih tahu kamu sesuatu.” Kepala Mitha mulai mendekat ke telinga lalu sahabat Gendhis itu berkata pelan-pelan. “Aku sekarang udah punya pacar.”
“Siapa?” karena terkejut Gendhis secara refleks menjauhkan diri.