Suaminya bangun setelah jam sembilan lebih seperempat. Emran bergegas ke kamar mandi, mengacuhkan Gendhis yang duduk sembari menyilangkan tangan di bawah payudara.
“Abang pulang jam berapa?” tanyanya membuka percakapan ketika Emran telah selesai mencuci muka. Wajah Emran sudah segar siap untuk dicecar dan mendengar cacian.
“Jam sebelas. Kamu udah tidur waktu abang datang.”
Gendhis memejamkan mata sambil mengatur nafas. Ia berusaha bersabar, tidak baik sepasang suami istri bertengkar setelah lama LDR namun pantaskah mereka diberi label LDR kalau yang satu tidak memberi kabar. “Terus abang selama ini di mana? Kok gak pernah pulang.”
“Kamu khawatir?” ditanya hal serius malah tertawa, Gendhis ingin sekali mencacah wajah Emran yang tak punya gurat rasa bersalah itu. Gendhis tidak khawatir Cuma kesal karena merasa diacuhkan padahal sebelumnya Emran selalu ada full untuknya.
“Pernah gak abang mikirin gimana nasibku ketika abang tinggal?”
Emran tidak bodoh, ia meninggalkan Gendhis karena yakin hidup gadis itu berjalan cukup baik. Mereka tidak punya perasaan romantis hingga harus sedih ketika berjauhan. Lalu mata Emran menyipitkan padangan. Gendhis nampak murka saat pertama kali melihatnya.
“Kamu kerja di tempat bagus dan punya motor juga. Uang bulananmu tak pernah telat aku kirimkan. Aku memikirkan segala kebutuhanmu.” Dan mengawasi Gendhis dari jarak jauh juga.
Gendhis siap memukul meja, namun tak dilakukannya. Meja peninggalan Munah bisa rusak sekali gebrak. “Abang, nasibku terkatung-katung. Orang pada ngertinya aku single, gak punya suami tapi aku nyatanya punya suami. Suami yang ninggalin aku tanpa status yang jelas. Surat nikah gak punya juga. Aku itu bingung kalau ada yang deketin, kalau ada yang ngajakin nikah aku harus bilang apa. Aku gak perawan karena diperkosa? Mana ada yang percaya!”
Itu juga yang menjadi kekhawatirannya, Emran mengelap wajahnya dengan kasar menggunakan handuk kecil. Surat nikah mereka memang belum di urus, karena ia takut jika surat nikah mereka ada Gendhis tak akan berpikir dua kali untuk membawanya ke pengadilan agama dan meminta cerai. Emran memegang janjinya pada Munah. Kalau pada akhirnya mereka berpisah, ia akan membantu mencarikan pria yang cocok dengan gadis ini. Anak buahnya juga tak bilang, kalau ada yang mendekati Gendhis.
“Apa ada lelaki yang mendekatimu? Apa ada pria yang memintamu untuk jadi kekasihnya.”
Gendhis tersenyum pahit, itu jelas ada. “Abang kira aku gak laku? Ada pria yang mendekatiku, tapi abang gak perlu tahu.”
“Intinya status kita mengganggu?”
“lah Abang pikir aja sendiri.”
Gendhis cemberut lalu memalingkan muka ke jendela. Beberapa saat lalu emosinya merambat naik namun mendengar ucapan Emran yang lembut dan hangat, hatinya tak tega mau marah-marah. Dasar Gendhis labil.
“Kalau ada cowok yang deketin kamu, suruh temuin abang dulu. Kamu berhak pacaran atau punya suami lagi, biar abang teliti dulu cowoknya baik apa gak.”
Kenapa jawaban itu membuat Gendhis kesal setengah mati. Apa yang diharapkan dari Emran? Pria itu akan marah dan mengakui kalau Gendhis miliknya. Ia mengerutkan hidung lalu menggeleng pelan. Pikiran macam apa itu? Dikira mereka saling mencinta dan punya kisah layaknya kisah dongeng asmara.
“Kenapa gak dibikin simpel aja. Abang bisa menceraikanku biar kita sama-sama bebas.”
Andai bisa begitu, Gendhis sudah menjadi tanggung jawabnya ketika mereka menikah. Suka tidak suka nasib gadis ini ada di tangannya, siapa yang Gendhis suka juga akan jadi urusannya. Apa pun yang menyangkut Gendhis, ia akan ikut campur termasuk mencari pasangan.
Di mata gendhis suaminya suka memperumit keadaan. Apa untungnya Emran dengan pernikahan ini. Gendhis juga menyimpan luka dan kecewa, seolah diperlakukan sebagai wanita yang tidak penting. Emran layaknya jalangkung yang datang tak diundang dan pergi semaunya. Gendhis dengan gejolak mudanya, tak tahan diperlakukan begini. Ia berkeinginan bebas, punya kehendak dan pasti punya pria idaman juga.
“Kamu akan bebas tapi bukan sekarang.”