Pengantin Raja Direwolf

BunnyTary
Chapter #3

3. Direwolf Belia

Setelah malam itu, Ditrian sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki ke kamar selirnya lagi. Seolah pernikahan itu tidak pernah terjadi. Ia berusaha tidur tenang seperti bayi setiap malam meski sulit. Ia masih mengingat bagaimana kedua mata perak itu memandanginya begitu terluka.

"Ini tidak adil Yang Mulia!" pekik Viscount Elliot. "Kita sudah mengorbankan banyak hal dan perbekalan agar kekaisaran bisa memenangkan perang. Tetapi kita hanya mendapat wilayah Galdea Timur!"

"Itu adalah titah Baginda Kaisar, Viscount Elliot," ucap Marquess Riven lirih.

"Diam kau! Kau juga tidak melawan saat Kaisar menurunkan titah itu! Kau ini ada di pihak siapa Marquess Riven?!"

"Beraninya Anda mempertanyakan kesetiaanku pada kerajaan!" bantah Marquess Riven pada Viscount Elliot. Buku-buku jari Direwolf tua itu mengerat keras. Kelihatan seluruh urat-urat di lehernya yang sudah keriput, namun bersamaan dengan sebuah geraman murka menunjukkan kedua taring Direwolfnya yang masih tajam. Seakan ruang rapat para bangsawan itu akan menjadi sebuah arena bertarung yang bisa membuat siapapun terluka.

"Sudahlah," ucap Raja Ditrian pasrah.

"Tidak bisa begitu Yang Mulia! Jika kita tak mendapatkan wilayah yang menguntungkan, seluruh kerajaan bisa kelaparan di musim dingin nanti," Viscount Elliot kembali menoleh pada Marquess Riven. "Sekarang kau paham kan apa yang telah kau perbuat, Marquess?!"

"Apa kau benar-benar peduli pada rakyat, atau kau hanya serakah, Viscount?! Semua orang di sini tahu. Kau marah karena tadinya kau yang diminta mengurus pertambangan kan?"

"Setidaknya aku bukan orang yang membawa penghinaan bagi raja! Seperti kau!"

"Diam!" lantang Raja Ditrian membungkam kedua orang itu. Kini mereka hanya bisa menatap nanar satu sama lain dari meja yang berseberangan. Nafas Ditrian memburu, entah mengapa, entah bagaimana, tapi jantungnya berdenyut nyeri begitu singkat saat Viscount Elliot menyebut sosok itu.

"Bukan salah Marquess Riven titah kaisar turun. Bangsawan siapapun yang ada di ibukota kekaisaran bisa saja ditunjuk oleh kaisar untuk menyampaikan titah ini. Dan soal persediaan makanan musim dingin, kita bicarakan hari ini."

xxx

"Aku tak menyangka Viscount Elliot berani berkata seperti itu pada Marquess. Padahal kan gelarnya saja di bawah Marquess. Hhhh ... sepertinya mungkin karena dia merasa sedikit kaya dari Marquess Riven, dia berani bicara begitu," ucap Grand Duke Everon sambil meminum tehnya. Ia kembali bersandar di sofa mewah nan nyaman milik istana. Kedua kakinya kembali bertengger seenaknya di meja kopi.

Kini mereka berdua ada di ruang kerja raja. Ruang di mana Raja Ditrian menghabiskan sebagian besar waktunya. Ukurannya sekitar sepuluh kali sepuluh meter dengan lantai marmer coklat tua. Di samping-sampingnya ditutupi oleh rak-rak berisi dokumen-dokumen penting kenegaraan. Ada perapian juga di dinding sebelah kanan. Di tengah ruang kerja ada satu set sofa merah beludur yang nyaman lengkap dengan meja kopi dari kayu mahoni yang diukir bentuk sulur-sulur daun anggur di tepi-tepiannya. Tempat yang paling disukai Everon.

Di bagian paling ujung tentu saja meja kerja raja. Meja dari kayu pohon ceri yang sangat lebar. Dipernis hingga mengilap. Juga kursi kerja raja dengan sandaran yang tinggi dan diukir sulur anggur juga. Entah sudah berapa Direwolf paling berkuasa menduduki kursi itu. 

Di belakang kursi, sebuah pintu kaca sangat besar. Ada balkon di sana. Satu-satunya sumber cahaya di ruangan itu saat siang hari. Pemandangan langsung ke salah satu bagian taman istana. Jika sedang bosan, Raja Ditrian akan meminum segelas wiski dan bersandar di pagar balkon.

Grand Duke Everon seringkali meluangkan waktu dengan Raja Ditrian seusai rapat partai bangsawan dan istana. Sudah bagaikan rumah sendiri Everon menganggapnya. Ditrian juga sudah dianggap bagai saudara sedarah yang sejak dulu menghabiskan waktu bersama dengannya. Mau diusir pun percuma. Everon hanya akan kembali lagi sesukanya. Ditrian sudah biasa.

"Oh iya. Bagaimana kabar selirmu?" tanyanya sambil menyandar santai pada sofa merah.

"Entahlah," singkat Ditrian. Tangannya sibuk menggores pena bulu pada dokumen di atas meja kerja.

"Aku mendapat rumor-rumor tentangnya," goresan tangan Ditrian sempat terhenti sejenak. Lalu berlanjut. "Kudengar ... dia itu buruk sekali. Bodoh, suka mengamuk, tabiatnya buruk. Katanya sewaktu Reghar naik tahta, dia sampai diasingkan ke Kerajaan Wei. Diasingkan! Kau bisa bayangkan?! Bisa-bisanya dia diasingkan oleh kakaknya sendiri!"

Lihat selengkapnya