Cahaya lampu kristal berkilauan di atas pelaminan. Musik lembut mengalun, tamu-tamu menebar doa, dan aku berdiri di samping seorang pria yang kini kusebut “suami”. Di mata orang lain, aku adalah pengantin yang beruntung—cantik, anggun, menikah dengan lelaki yang tampan dan terpandang. Tetapi hanya aku yang tahu, di balik senyum yang kupaksakan, hatiku bergetar aneh, seakan tubuhku memberi peringatan akan sesuatu yang buruk
Aku mencoba menepis firasat itu. Mungkin hanya gugup, pikirku.
Namun ternyata, perasaanku benar.
Malam itu, setelah pesta usai, aku masuk ke kamar pengantin dengan langkah pelan. Gaun putihku terasa berat, bukan hanya karena lapisan renda dan payet, tetapi juga karena beban di dadaku. Aku menoleh pada cermin. Di sana, wajah seorang perempuan muda menatap balik—dengan mata yang sayu, lelah, tapi penuh harapan. Aku tersenyum tipis.
“Mulai hari ini, kau istri yang sah,” bisikku pada bayangan itu.