Saras mengeliat. Bus yang dia tumpangi berliku-liku mengikuti jalan. Sepi. Hanya separuh dari kursi penumpang yang terisi. Saras menatap arlogi. Sebentar lagi petang. Tapi rumah tujuannya masih jauh. Dia menyesap iler yang hampir saja membentuk kepulauan di kursi bus. Matanya sayu menyaksikan semburat jingga yang sebentar lagi tenggelam.
Dia merapikan diri. Menguncir rambut, membenahi pakaian, memasang kembali sepatu. Perjalanan yang sangat jauh.
Bertepatan dengan azan maghrib, bus menepi di terminal. Bersama penumpang lain dia turun. Mampir di mushala sebentar, shalat. Makan malam supaya nanti tidak merepotkan pemilik rumah. Lagipula, belum tentu perawat jompo sepertinya akan dihidangkan makanan di rumah majikan nanti.
Sejak di PHK, Saras bingung mencari biaya untuk menghidupi keluarganya. Ayahnya meninggal saat dia lulus SMP. Itulah kenapa dia tidak bisa melanjutkan ke SMA. Selepas SMP, Saras bekerja di pabrik pembuatan bulu mata sintetis dengan upah yang tidak seberapa. Sayang, beberapa bulan lalu, pabriknya gulung tikar. Saras sempat luntang lantung di jalan mengerjakan apapun yang bisa dikerjakan. Jadi kuli angkut di pasar atau apapun.
Sampai dia bertemu Arini, orang yang mengantarkannya pada pekerjaannya sekarang. Jadi suster dan merawat orangtua jompo.
"Alhamdulillah," ucapnya menenggak segelas penuh teh hangat tawar.
"Berapa bu?" Tanyanya.
"Sudah gratis nduk." Ucap pemilik warung.
"Loh, saya kan mau beli bu,"
"Anggap saja keberuntunganmu." Pemilik itu sibuk berbenah. Rupanya sudah mau tutup. "Saya memang selalu ngasih gratis sama pelanggan terakhir. Alhamdulillah, hari ini dagangan ibu laris manis,"
"Alhamdulillah, semoga seterusnya laris yah bu,"
Pemilik warung mengangguk.