Di usianya yang ke-33, Bintan Torino masih seorang jomlo yang jauh dari kata “selesai” dengan perjuangan hidup. Sebelumnya, ia bekerja di PT Pakan Ternak Jawufi. Tanggung jawabnya seputar manajemen limbah pabrik. Pekerjaan tersebut lumayan mentereng, walau ia bukan pegawai tetap.
Sejak 2016, perusahaan itu selalu memperpanjang kontrak kerjanya. Namun, tidak di tahun ini. Begitu kontrak habis, resmilah Bintan menjadi pengangguran.
Setiap hari, selama enam bulan ini, ia di rumah saja, menemani orang tua sambil sesekali memelototi lowongan kerja di Wuflite, media daring ternama di Desa Wufi. Praktis, di grup WA keluarga, Bintan kembali menjadi bahan olok-olok kedua kakaknya, Eko Sasongko dan Dwi Alamsyah, yang sudah ajek bekerja di Pulau Jawa.
Padahal, Bintan memutuskan tetap hidup di pulau kelahirannya ini, Noesawoefi, justru untuk menemani orang tua dan merawat rumahnya. Dalam satu keluarga, harus ada anak yang mau melakukan pekerjaan tidak keren tetapi penting itu, bukan?
Namun, beginilah kehidupan modern yang digerakkan oleh ambisi-ambisi ekonomi. Jarang ada yang mengapresiasi keputusan Bintan. Tanpa status pengangguran saja, Bintan kerap dirundung sebagai anak rumahan, bujang lapuk, usia kepala tiga tetapi belum punya rumah sendiri, dan ini-itu lainnya.
“Awas, Tan!” teguran Dwi menyadarkan Bintan dari lamunannya. Kakak kedua Bintan itu masuk ke liang lahad, tempat Bintan sudah terlebih dahulu menanti kiriman jenazah.
Tak lama kemudian, Eko, kakak pertamanya bersama beberapa warga mengangsurkan jasad yang sudah kaku. “Hati-hati…” pesan mereka kepada Bintan, Dwi, dan seorang warga yang tampaknya sudah terbiasa dengan prosesi pemakaman.
“Bismillahi wa ‘ala millati Rasulillah!” ucap seorang warga yang memasukkan jenazah ke liang kubur.
Ketiga orang di bawah mengucapkan bacaan yang sama. Mereka lalu menerima dan meletakkan tubuh berkafan itu di dasar liang lahad. Lalu, memiringkannya hingga menghadap kiblat.
“Sekarang, buka tali pocongnya, Mas,” instruksi warga dari atas. Bintan dan Dwi mematuhinya.
Seorang warga lainnya lantas memberikan papan kayu untuk diletakkan miring di atas jenazah.
Itu adalah jenazah ibu Bintan, Dwi, dan Eko. Dini hari tadi, mendiang Sembadra binti Sakinah kejang-kejang. Bintan baru setengah jam memejamkan mata saat ayahnya menggedor-gedor pintu kamarnya untuk memberi tahu info itu.