Menganggapnya prank, Bintan ikut Mali dan memilih kembali ke 2004. Mali memberinya peringatan serius bahwa ini perjalanan satu arah, tetapi Bintan tetap setuju.
Mali bangkit dari jongkoknya, menepuk-nepuk pasir yang menempel di celana pendeknya. Ia memberi kode dengan gerakan kepala supaya Bintan mengikutinya, kemudian berjalan menyusuri bibir pantai.
Sempat ragu sejenak, Bintan akhirnya bangkit dan mengekor. Ia melirik sejenak ke arah sepeda motornya yang diparkir di sebelah utara. Tersembunyi. Terkunci. Aman. Ia yakin urusan ini takkan lama. Bahkan sepasang sandalnya pun ia biarkan tergeletak di pasir tempatnya duduk tadi.
Bintan tahu ini keputusan yang konyol. Ia hanya berpikir, “Apa ruginya?” Setidaknya, hiburan gratis dari seorang pria tua eksentrik adalah hal terbaik yang bisa ia harapkan pagi ini.
Sejajar dengan Mali, Bintan terus mengayunkan langkah demi langkah dalam sunyi. Ia sesekali melirik pria itu. Mali tampak begitu santai, seolah sedang mengajak anaknya bertamasya, bukan memandu seorang pemuda putus asa menuju mesin waktu yang supercanggih.
Ini pasti prank, batin Bintan makin yakin.
Sejak internet satelit masuk ke desa ini pada pertengahan 2024 silam, kualitas internet melesat pesat. Semua orang jadi mendadak ingin menjadi kreator konten YouTube, TikTok, atau Instagram.
Pulau terpencil ini tiba-tiba menjadi panggung bagi video-video aneh. Mulai dari “misteri” penampakan hantu serdadu Prancis di Fort Bonaparte, nelayan yang berjoget-joget viral, hingga mokbang sebakul nasi dan lauk yang menggunung tetapi diawali dengan kata-kata, “Lagi enggak enak badan, makan cuma bisa segini.”